Tak Semua Kata Bisa Dipercaya

Loading

Oleh Akhmad Idris

Corona adalah cerita -sekaligus berita- yang hingga saat ini masih belum ada habisnya. Hampir semua pihak merasa tak berdaya, hanya rasa percaya bahwa semua akan kembali seperti semula yang membuat orang tetap berusaha sekuat tenaga untuk memeranginya. Sebagai varian virus baru, masih banyak kesimpangsiuran tentang segala upaya pencegahan Covid-19. Beberapa di antaranya seperti anggapan bahwa Thermo Gun memiliki potensi untuk merusak sel-sel otak lewat sinar lasernya, vaksin Covid-19 yang dipercaya mengandung bibit penyakit, hingga vaksin Covid-19 yang juga dipercaya mengandung zat-zat berbahaya. Mirisnya, banyak masyarakat yang dengan mudah percaya begitu saja atas narasi-narasi yang belum diketahui secara pasti kebenarannya.

Fenomena seperti ini sejatinya hal yang lumrah terjadi, sebab -sebagaimana yang disampaikan oleh Jostein Gaarder dalam Shopie’s World– satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh orang yang tidak tahu adalah mempercayai. Ketidaktahuan masyarakat atas segala fakta yang berhubungan dengan Covid-19, membuat segala kata yang diterima (yang terkesan provokatif sekalipun) mudah untuk dipercaya. Sebab itu, agar tidak terjadi pemahaman yang keliru, masyarakat sudah seyogianya memegang prinsip ‘Tak Semua Kata Bisa Dipercaya’. Hal ini disebabkab oleh asumsi dasar bahwa setiap ucapan manusia di dunia terbagi menjadi dua, yakni fakta dan dusta. Jenis yang terakhir lazim disebut dengan berita hoaks. Kepada yang fakta, manusia perlu ‘mengimani’ dan kepada yang dusta, manusia perlu ‘mengufuri’.

Christiany Juditha (2018) selaku peneliti di Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dalam Jurnal Pekomnas menyebutkan, bahwa cara mengantisipasi penyebaran hoaks di masyarakat dapat dilakukan dengan tiga hal, yakni pendekatan kelembagaan, teknologi, dan literasi. Sebagai contoh, pendekatan teknologi dapat dipraktikkan dengan cara mencermati sumber berita, apakah berasal dari situs yang dapat dipercayai atau tidak.

Di era yang telah dilabeli dengan istilah ‘digital’ ini, sebagian besar informasi yang diserap masyarakat bersumber dari portal-portal berita online yang sejatinya hampir 99% di antaranya belum terverifikasi sebagai situs berita resmi. Pernyataan ini disimpulkan atas laporan di situs Kominfo (kominfo.go.id) yang menyebutkan bahwa menurut catatan Dewan Pers, dari 43.000 portal berita online di Indonesia, hanya kurang dari 300 situs yang telah terverifikasi sebagai situs berita resmi. Menilik fakta ini, masihkan masyarakat Indonesia mudah percaya dengan kata-kata di dunia maya?

Untuk membuktikannya, mari menelusuri kebenaran dari anggapan tentang Thermo Gun yang berpotensi merusak sel-sel otak sebab sinar laser yang ‘ditembakkan’ ke dahi. Bagi kelompok yang belum menganut prinsip ‘Tak Semua Kata Bisa Dipercaya’, anggapan tersebut memang (sedikit) ada benarnya, yakni Thermo Gun memang ‘menembak’ dahi. Namun, hal yang perlu disadari oleh masyarakat adalah sinar yang ‘ditembakkan’ oleh Thermo Gun adalah inframerah. Bukansinar laser yang memancarkan radiasi.

Inframerah digunakan untuk menangkap energi radiasi dari tubuh yang nantinya akan diubah menjadi energi listrik. Lewat energi tersebut, akan ditampilkan suhu tubuh dalam angka digital pada termometer tersebut. Hal ini telah disampaikan secara langsung oleh para pakar dari Departemen Fisika Kesehatan Kedokteran Medical Technology IMERI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bahwa Thermo Gun sama sekali tidak berbahaya. Dari sini, masyarakat dapat belajar bahwa yang bisa ‘diimani’ adalah pernyataan para pakar yang berkompeten di bidangnya. Bukan para manusia yang baru saja belajar dari media sosial.

Jarimu, Harimaumu

Selain prinsip ‘Tak Semua Kata Bisa Dipercaya’, manusia juga perlu berhati-hati dalam menyebarkan informasi di jagat media sosial. Menyebarkan atau memberikan informasi buruk di internet dapat terancam pidana pasal 310 dan 311 KUHP dan Undang-Undang ITE. Masalah utama di era yang serba dalam-jaringan (dibaca online) seperti saat ini adalah segala macam berita tersebar dengan mudah melalui jalur media sosial. Dengan menggunakan kalimat yang sedikit provokatif sekaligus mampu mengundang emosi pembaca, fakta yang sebenarnya terjadi bisa dibelokkan dengan mudah demi sebuah kepentingan golongan.

Akhirnya, pembaca sebagai pengguna media sosial yang tak memiliki bekal terpancing untuk menyebarkan berita hoaks tersebut. Jika sudah seperti ini, penyebaran berita (yang hoaks tadi) tersalur dengan mudah seperti jaring laba-laba yang saling bertautan satu sama lain. Si penyebar pertama membagikannya ke dalam media sosial yang dibaca ribuan hingga jutaan pengikut, lalu setiap pengikut mulai menyebarkan kepada pengikutnya juga, dan begitu seterusnya. Akhirnya, cukup dengan satu orang penyebar, berita hoaks itu sudah dibaca oleh sekian persen dari pengguna media sosial.

Hal ini mengingatkan pada pepatah lama yang menyebutkan bahwa mulutmu, harimaumu. Artinya, setiap orang harus berhati-hati dalam berbicara karena perkataan yang menyakiti hati akan berdampak fatal pada keselamatan diri. Agaknya pepatah tersebut mulai mengalami pergeseran makna di era digital seperti saat ini, sebab manusia lebih sering berinteraksi dengan jari daripada dengan bibir. Saat ini manusia lebih gemar mengetweet daripada berdiskusi, lebih suka mengetik status daripada berdialog, dan lebih senang mengetik komentar daripada membicarakannya secara langsung.

Dewasa ini, jari lebih tajam daripada lidah. Ketika bertemu tampak semuanya baik-baik saja, namun ketika sudah di rumah masing-masing nyatanya saling menyindir lewat postingan di media sosial.

Sebab itu, pepatah yang ‘cukup pas’ untuk menggambarkan posisi manusia saat ini adalah jarimu, harimaumu. Berhati-hatilah bermain dengan jari, karena satu kesalahan fatal gegara jari, dapat berakhir dalam jerat jeruji besi.