Pidato Bung Karno: Jika Rukun, Kita Menjadi Kuat!

Loading

JAKARTA – Membaca kembali pidato Presiden pertama RI Soekarno dalam beberapa peringatan Hari Kebangkitan Bangsa, seakan masih terasa relevan dengan situasi bangsa Indonesia saat ini.

Di tengah maraknya isu perpecahan berbau SARA (suku, agama dan ras) dan ujaran kebencian di ruang-ruang publik, orasi kebangsaan Sang Proklamator menjadi sebuah narasi penting yang patut disimak oleh seluruh elemen masyarakat.

Dalam setiap pidatonya, Bung Karno selalu mengingatkan agar peringatan Hari Kebangkitan Bangsa tidak dimaknai sebagai seremonial belaka.

Tanggal 20 Mei 1908, kata Soekarno, adalah salah satu tonggak penting perlawanan atas penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Peristiwa tersebut menjadi tonggak yang menyatukan tenaga rakyat dalam entitas sebuah bangsa.

Saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Stadion Utama Senayan, Jakarta, 20 Mei 1964, Soekarno menyinggung soal upaya adu domba dan pemecahbelahan sebagai senjata yang paling ampuh untuk menguasai suatu bangsa.

Lantas dia membandingkan kondisi bangsa Indonesia saat itu dengan zaman kerajaan  Sriwijaya dan Majapahit.

Penduduk Nusantara yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia, kata Soekarno, merasa menjadi satu bangsa yang tidak terbagi-bagi.

Bangsa Indonesia, dari pulau yang barat sampai ke pulau yang paling timur adalah satu negara, satu bangsa yang tidak bisa dibagi-bagi.

“Tetapi kemudian imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatera. Orang Sumatera dibikin benci kepada orang Jawa. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sulawesi. Orang Sulawesi dibikin benci sama orang Jawa… Dan ini salah satu senjata yang immateriil,” tutur Soekarno seperti dikutip dari kumpulan naskah pidato berjudul ‘Bung Karno: Setialah Kepada Sumbermu’.

Pada pidato 20 Mei 1963 di alun-alun kota Bandung, Soekarno menegaskan bahwa persatuan dan kesatuan merupakan satu-satunya cara agar bangsa Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan oleh bangsa lain.

Dia mengumpamakan bangsa Indonesia sebagai sapu lidi, yang terdiri dari beratus-ratus lidi. Jika tidak diikat, maka lidi tersebut akan tercerai berai, tidak berguna dan mudah dipatahkan.

“Tetapi jikalau lidi-lidi itu digabungkan, diikat menjadi sapu, mana ada manusia bisa mematahkan sapu lidi yang sudah terikat, tidak ada saudara-saudara,” kata Soekarno.

“Ingat kita kepada pepatah orang tua, rukun agawe santosa, artinya jikalau kita bersatu, jikalau kita rukun, kita menjadi kuat!” tuturnya.

Kesatuan sikap, program dan tindakan

Tidak bisa dipungkiri perjuangan tokoh-tokoh pergerakan melalui berbagai macam organisasi politik telah berperan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Organisasi-organisasi politik modern mulai bermunculan sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan terus berkembang hingga pasca-kemerdekaan.

Soekarno menyebut Boedi Oetomo merupakan awal dari satu cara baru dalam membebaskan masyarakat dari penjajahan.

Melalui organisasi, bangsa Indonesia perlahan mulai menyadari pentingnya rasa persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan kemerdekaan.

“Apakah cara baru itu? Cara baru itu ialah cara mengejar sesuatu maksud dengan alat organisasi politik, cara berjuang dengan cara perserikatan dan perhimpunan politik—cara berjuang dengan tenaga persatuan. Organisasi perserikatan inilah (Boedi Oetomo) jalan yang utama untuk memenuhi ajaran rukun agawe santosa. Persatuan membuat kekuatan,” ujar Soekarno saat berpidato pada 20 Mei 1952.

Menurut Soekarno, perkembangan organisasi dan partai politik tidak perlu dibatasi. Dia menilai demokrasi telah membangun situasi di mana setiap orang memiliki hak untuk berserikat.

Namun, dalam pidatonya itu, Soekarno menegaskan bahwa seluruh organisasi dan partai politik yang ada harus berlandaskan pada persatuan dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan organisasi.

“Ini bukan berarti saya tak mengerti pertumbuhan partai dan organisasi dalam alam demokrasi. Ini pun tidak berarti saya meremehkan partai dan organisasi yang sekarang ada, sama sekali tidak,” kata Sang Proklamator.

“Ini hanya berarti saya mengatakan bahwa bagi Negara haruslah primer. Tidak mungkin partai dan organisasi kita bergerak seperti sekarang ini kalau tidak ada Negara Republik kita!” tegasnya.

Soekarno tidak menampik demokrasi telah memberikan kemerdekaan berpikir dan berpendapat. Akan tetapi, setiap orang pun harus bisa membatasi diri.

Baginya, demokrasi merupakan satu dasar dan jalan bagi sebuah bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.

Dengan demikian, kata Soekarno, demokrasi juga telah menciptakan ikatan dalam melaksanakan pembangunan nasional.

“Jadi saudara-saudara kesimpulan kita ialah marilah kita benar-benar suci bersatu, marilah kita sama-sama mengutamakan Negara, marilah kita bekerja konstruktif dalam arti benar-benar melaksanakan pembangunan nasional,” ujar Sang Bung Besar.

Sumber: Kompas