”Tantum religio potuit suadere malorum!” Demikian pernyataan Lucretius, yang terjemahannya: ”Betapa hebatnya agama sampai bisa mendorong orang melakukan perbuatan jahat!”
Apa yang disampaikan Lucretius itu sebagai kritik yang ditujukan kepada siapa pun pemeluk agama yang ucapan, sikap, dan perilakunya menyakiti orang lain atau suka berbuat jahat kepadanya, yang perbuatannya ini bertameng agama.Lucretius sejatinya menunjukkan bahwa agama tidak akan mungkin memerintahkan pemeluknya berbuat jahat, menyakiti orang lain, atau memproduksi perbuatan-perbuatanyang berlawanan dengan kepentingan kemanusiaan.
Kepentingan kemanusiaan itu sangat banyak dan beragam. Hidup berdampingan dengan damai, saling melindungi, saling toleransi, saling membebaskan kesulitan, dan tidak saling mengancam adalah beberapa di antara keragaman hajat kemanusiaan. Keragaman hajat kemanusiaan itu disebut juga sebagai hak menjalani hidup dalam kebinekaan (keragaman). Dalam hidup demikian ini, meminjam ruh pemikiran Lucretius, idealitasnya ”sangat” tidak perlu seseorang atau sekelompok orang memaksakan kehendak, paham, atau ”iman” yang diyakininya sebagai kebenaran.
Jika tetap memaksakan paham dan ”iman” kepada orang lain, hajat eksklusif teologisnya ini jadi ”teror” yang jahat untuk kebinekaan. Setiap orang punya jalan atau thariqah-nya masing-masing dalam mengonstruksi dan mengembangkan kebenaran paham dan ”imannya”.
Sayangnya, sering kali kita dipertemukan dengan kondisi paradoksal. Seseorang atau sekelompok orang memosisikan diri seolah-olah menjadi ”instrumen” kebenaran, yang sekaligus karena posisinya demikian, dirinya dijerumuskan menjadi ”predator” yang berhak mencampuri hingga menjagal hajat asasi kemanusiaan yang bernama kebinekaan.
Belakangan ini makin marak kasus yang mengancam kebinekaan atau keberagaman di negeri ini. Ada ikrar kekhilafahan, ada ikrar anti-Pancasila, dan masih sering muncul berbagai aktivitas yang secara langsung atau tidak menolak atau memusuhi keberadaan pemeluk agama atau etnis lain.
PT sebagai basis
Kasus-kasus itu jelas mengindikasikan kebinekaan di negeri ini—sekarang atau masa mendatang—benar-benar terancam terjagal apabila praktik semacam ini tidak mendapat perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat.Menyerahkan semata kepada negara untuk melarangnya tidak akan mempan. Pasalnya, negara sudah terjebak dalam politik peliberalisasian reformasi dan penggunaan hak kebebasan bersuara, berekspresi, memilih, danberorganisasi sesuai keyakinan atau agama masing-masing.
Salah satu lembaga yang diandalkan untuk mengawal kebinekaan adalah kampus. Perguruan tinggi (PT) secara khusus diamanati oleh rakyat untuk menyampaikan kepada mahasiswa atau subyek pendidikan tinggi bahwa Pancasila itu ideologi ”harga mati”. Kalau Pancasila sudah menjadi ”harga mati”, konsekuensinyaPT berkewajiban menjaganya supaya ideologi lain tidakhidup dan berkembang dalam lingkungannya.
Ikrar kekhilafahan yang terjadi dan beberapa kali terulang di PT menjadi sinyal yang mengisyaratkan bahwa ekologi edukasi atau proses pembelajarannya belum benar-benar berhasil membumikan Pancasila sebagai ideologi ”berharga mati”. Meski hanya ”segelintir” PT yangmemberi ruang terjadinya aktivitas seperti ikrar kekhilafahan itu, ini mengindikasikan PT juga harus dikontrol supaya khitahpada landasan diselenggarakannya PT ditegakkan, bukan malah menoleransi atau meliberalisasikan doktrin yang berlawanan dengan kebinekaan.
Dalam Pasal 2 UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan, pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.Landasan yuridis penyelenggaraan edukasi di PT itu menunjukkan bahwa proses pembelajaran di kampus bernyawakan pada kebinekaan, yang setiap elemennya dituntut menegakkan dan mengembangkan doktrin kebinekaan, serta membumikan doktrin ini dalam trans-kehidupan yang berkeberagaman.
Selain itu, proses pembelajaran juga bisa dikembangkan dengan menjelaskan perkembangan berbagai ideologi, doktrin, atau organisasi-organisasi yang masih eksis atau sudah dilarang di sejumlah negara.Pembelajaran dinamika ideologi itu penting guna memberikan informasi yang seimbang dan benar kepada mahasiswa bahwa di ranah global pun terjadi kebinekaan yang luar biasa, yang menuntut setiap elemen bangsa di muka bumi untuk menyikapi dengan cerdas atau mengarifinya.
Salah satu contoh penghormatan kebinekaan istimewa dilakukan Khalifah Umar bin Khathab. Semasa memimpin, Umarmemberikan kepada penduduk Elia (Jerusalem/Al-Quds) keamanan kepada komunitas Nasrani di Elia untuk jiwa mereka, harta kekayaan mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib dan semua perangkat agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki siapa pun, tidak boleh dirobohkan atau dirusak, kekayaannya dan semua hak milik gereja mereka dilindungi, mereka tidak boleh dipaksa dalam agama, dan tidak boleh ditekan.
Umar memberikan pelajaran berharga bahwa di tengah pluralitas atau kebinekaan, setiap pemeluk agama yang berbeda berkewajiban menegakkan kebinekaan, dan tidak diperbolehkan melakukan pemaksaan kehendak, apalagi sampai menyebar teror ideologisataupun fisik.
Membumikan doktrin kebinekaan
Di Indonesia memang hak setiap orang—termasuk para mahasiswa—bisa ”kepincut” dan mengamini doktrin kekhilafahan atau lainnya. Namun, karena mereka terjerumus dalam paham atau opsi eksklusivitas teologis yang menolak kebinekaan, sikap dan pikiran mereka itu harus secara berkelanjutan direstorasi supaya kembali khitah, ke hajat asasi kebersatuan hidup bermasyarakat dan berbangsa yang berkebinekaan.
Menyadarkan atau ”memulangkan” kembali ke jalan itu memang terjal. Pilihan pada paham atau doktrin ini umumnya melekat dan ”berharga mati” seperti cintanya elemen bangsa Indonesia ini pada Pancasila. Meski demikian, dunia pendidikan, khususnyaPT, berkewajiban untuk menggencarkan (menggalakkan) proses pembelajaran yang mengedepankan kebinekaan.
Kebinekaan di PT bisa terjagal secara berkelanjutan bilamanaproses pembelajaran tidak mengenalkan hingga membumikan doktrin kebinekaan. Transformasi melalui proses pembelajaran, kalau perlu di setiap mata kuliah yang ditempuh mahasiswa, menjadi opsi yang akan memprevensi virus paham atau doktrin anti-kebinekaan.
Membubarkan ormas yang mengusung semangat anti-Pancasila dan berbagai bentuk kekerasan memang kewajiban negara untuk mewujudkannya. Akan tetapi, tidak kalah asasinya, juga menjadi kewajiban negara untuk terus menjaga ”nyala” dan ”nyawa” kebinekaan di negeri ini. Salah satunya melalui perguruan tinggi, berbentuk pendidikan kebinekaan yang ”menusantara” dalam proses pembelajaran, tetapi bukan sekadar proses penghafalan dalam teks-teks literasi.
Abdul Wahid
Wakil Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS