SURAKARTA – Pada 23 Januari 2018, Presiden ke-5 Republik Indonesia (2001-2004) Megawati Soekarnoputri berulang tahun ke-71 dan dia menjadi tokoh perempuan satu-satunya di Indonesia, bahkan di dunia yang terlama dalam menjabat ketua umum partai sejak 1993 hingga kini.
Partai yang dipimpin Megawati bahkan merupakan partai berkuasa (the ruling party) berdasarkan hasil Pemilu 2014, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang mengantarkan duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.
Megawati masih menjadi tokoh sentral dan magnet yang memiliki daya pengaruh begitu kuat dalam konstelasi politik nasional dan kebijakan pemerintahan serta kenegaraan.
Ketokohannya begitu dihormati dan disegani, tidak hanya oleh seluruh kader dari partai politik yang dipimpinnya tetapi juga oleh lawan-lawan politiknya.
Bagi peraih gelar doktor kehormatan (honoris causa) enam kali dari berbagai universitas di dalam negeri dan luar negeri ini, keteguhan dalam bersikap berdasarkan kebenaran yang diyakininya menjadi nilai dasar dan kekuatan utama yang bisa menginspirasi banyak orang.
Dalam berbagai kesempatan berpidato, anak kedua dari pasangan ayahnya, Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno dan Ibu Negara saat itu Fatmawati, yang lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 ini, kerap berapi-api dan menyulut semangat tak berhenti berjuang.
Seperti pidato terakhir saat peringatan 45 Tahun PDI Perjuangan yang juga dihadiri Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, dan Ketua MPR Zulkifli Hasan pada 10 Januari lalu, misalnya, sambil menangis tersedu-sedu, Megawati masih mampu menyeru ribuan hadirin saat itu untuk tetap menyalakan api pergerakan, menyatukan diri, menyingsingkan lengan, mengepalkan tangan persatuan, dan menggemakan pekik merdeka, untuk mencapai tujuan Indonesia Raya.
Simbol Perjuangan
Meskipun terlahir sebagai anak presiden dan menjalani keseharian masa kecil hingga remaja di lingkungan istana, Megawati lebih dikenal sebagai simbol perjuangan melawan rezim Orde Baru.
Megawati memimpin PDI – partai yang dibentuk oleh rezim Orde Baru di Jakarta pada 10 Januari 1973 berdasarkan fusi lima partai politik ketika itu yakni PNI, Partai Katolik, Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia – sejak 1993 sebagai hasil dari Kongres Luar Biasa di Surabaya pada 2 Desember 1993.
Megawati “dibesarkan” oleh rezim Orde Baru yang menekan dia habis-habisan. Bayangkan bila ketika itu Megawati didukung oleh pemerintah, karir politik di partainya barangkali sudah tamat, apalagi PDI merupakan hasil rekayasa pemerintah.
Lihat saja Ketua Umum PDI hasil Kongres I di Jakarta pada Senin-Selasa 12-13 April 1976 terpilih secara aklamasi Mohamad Sanusi Hardjadinata, calon dari pemerintah. Politisi PNI itu sebelumnya menjabat Gubernur Jawa Barat (1951-1956), Mendagri (1957-1959), dan Mendikbud (1967-1968).
Begitu pula Sunawar Sukowati, menjadi Ketua Umum PDI pilihan pemerintah, dari hasil Kongres II di Jakarta pada Selasa-Sabtu 13-17 Januari 1981 yang dibuka oleh Presiden Soeharto. Sunawar pernah menjabat Menteri Negara Bidang Pengawasan Proyek Pemerintah (1968-1971) dan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat (1973-1978).
Sunawar wafat pada 1986 dan PDI menyelenggarakan Kongres III di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada Selasa-Jumat 15-18 April 1986. Kongres menyerahkan pada pemerintah menunjuk ketua umum melalui Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal LB Moerdani, dan Menmudsekkab Moerdiono. Pemerintah mengangkat Soerjadi.
Soerjadi mengajak Megawati dan Guruh terjun ke politik praktis bersama PDI sehingga mereka terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 1987. Soerjadi tak hanya Ketua Umum DPP PDI tetapi juga Wakil Ketua MPR/DPR dua periode sejak 1987 hingga 1997.
Soerjadi membuat perolehan suara dan kursi Golkar di DPR RI merosot pada Pemilu 1992 menjadi 66.599.331 suara atau 282 kursi, anjlok dari 299 kursi pada Pemilu 1987.
Sebaliknya, perolehan suara dan kursi PDI meningkat. Pada Pemilu 1992, PDI menambah 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi atau 14.565.556 suara. Perolehan suara dan kursi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) juga meningkat yakni meraih 16.624.647 atau 62 suara, meningkat satu kursi dibanding hasil Pemilu 1987.
Upaya menggerus Soerjadi pun terjadi pada Kongres IV di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan pada Rabu-Minggu, 21-25 Juli 1993. Pemerintah tak mengakui Soerjadi meskipun terpilih kembali pada kongres berdarah akibat bentrokan itu. Megawati hadir pada kongres itu tetapi dua hari sebelum penutupan dia pulang ke Jakarta karena merasa pilu atas kericuhan dan bentrokan itu.
Pemerintah menetapkan 23 anggota caretaker DPP PDI yang dipimpin Ketua PDI Jawa Timur Latief Pudjosakti, di Surabaya pada Jumat 27 Agustus 1993. Mendagri Moh Yogie Suardi Memet, Dirjen Sospol Sutoyo NK, dan Gubernur Jatim Basofi Sudirman, serta utusan dari 27 DPD PDI se-Indonesia hadir. Penetapan itu berlangsung sehari sebelum pelantikan Gubernur Jatim Basofi Sudirman.
Tak salah menyebut PDI sebagai partai kisruh. Seperti kongres-kongres sebelumnya, Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Kamis hingga Senin, 2-6 Desember 1993 juga akrab dengan kekisruhan. Calon pemerintah, Budi Hardjono, yang bersaing dengan Ismunandar dan Latief Pudjosakti, tak mampu memendung dukungan peserta kongres untuk Megawati.
Megawati menyatakan kesediaannya menjadi calon ketua umum setelah sejak September banyak menerima kedatangan pengurus cabang PDI dari berbagai daerah yang meminta kesediaannya. Megawati pun pada Selasa 23 November 1993 di kediamannya di Jalan Kebagusan IV Nomor 45 Jakarta Selatan, meluncurkan buku “Bendera Sudah Saya Kibarkan”.
KLB itu hanya sempat dibuka oleh Mendagri Moh Yogie SM dan tidak pernah ditutup. Beberapa menit menjelang batas akhir waktu izin penyelenggaraan KLB, Megawati menyatakan diri sebagai ketua umum PDI secara “de facto”. Setelah waktu penyelenggaraan KLB habis, mereka pun pulang dan polisi membubarkan acara itu.
Mendagri masih mengakui caretaker pimpinan Latief Pudjosakti. Yogie dipanggil Presiden Soeharto ke Bina Graha pada Kamis 9 Desember 1993 dan memerintahkan penyelesaian kemelut PDI secara musyawarah dan mufakat.
Bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu 22 Desember, Megawati secara “de jure” terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 dalam Munas di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, pada Rabu-Kamis 22-23 Desember 1993. Munas diselenggarakan oleh caretaker DPP PDI. Latief Pudjosakti pada acara itu memohon maaf kepada pemerintah dan seluruh keluarga besar PDI karena tidak mampu menyelenggarakan KLB dengan baik. Munas itu dibuka dan ditutup oleh Sekretaris Jenderal Depdagri Suryatna Subrata.
Awal 1996, rezim Orde Baru mengendus Megawati bakal dicalonkan sebagai Presiden. Pada akhir 1995, beredar formulir di kalangan Fraksi PDI DPR RI untuk mencalonkan Megawati sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Inisiatif mencalonkan Megawati itu datang dari Wakil ketua Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Aberson Marle Sihaloho.
DPP PDI pun terbelah. Sebanyak 16 fungsionaris DPP PDI di bawah komando Fatimah Ahmad dengan dukungan pemerintah, berupaya menggelar kongres sebagaimana diinginkan 19 DPD dan 215 DPC PDI. Sisa fungsionaris lainnya tetap berada dalam barisan Megawati dan menolak kongres.
Pemerintah memakai lagi Soerjadi untuk memimpin PDI setelah terpilih secara aklamasi pada Kongres V PDI di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan 20-22 Juni 1996. Sebulan kemudian Sekretariat DPP PDI yang dikuasai kubu Megawati diambil alih kubu Soerjadi dengan bantuan aparat keamanan hingga meletus kerusuhan Sabtu Kelabu 27 Juli 1996.
Megawati bersikukuh melawan dan tetap memimpin PDI sehingga ada kubu PDI Soerjadi dan PDI Megawati hingga rezim Orde Baru tumbang oleh Gerakan Reformasi seiring dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie.
Pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama era reformasi, PDI pimpinan Megawati yang telah berubah nama menjadi PDI Perjuangan memenangi pemilu legislatif. Jalan Megawati menjadi presiden terhambat dalam Sidang Umum MPR 1999 yang hanya menempatkannya sebagai Wakil Presiden dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Sidang Istimewa MPR pada 2001 yang memakzulkan Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, mengantarkan Megawati menjadi Presiden.
Sejarah membuktikan, tokoh yang dizalimi oleh penguasa, berbalik menjadi besar, mendapat dukungan rakyat secara demokratis, bahkan bisa memimpin Republik Indonesia.
Memang masa pemerintahan Megawati hanya tiga tahun, dan kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono dalam pilpres langsung pertama pada 2004, untuk masuk ke periode selanjutnya.
Namun kesabarannya selama 10 tahun di luar pemerintahan sejak 2004-2014 telah mengantarkan dia untuk kembali memenangkan partainya pada Pemilu 2014 sekaligus memenangkan pasangan jagonya, Jokowi dan JK, memimpin negeri ini untuk periode 2014-2019 dari Pilpres 2014.
Wajar banyak kalangan menyebut Megawati sebagai tokoh di balik layar dari pemerintahan saat ini dan perjuangan sesungguhnya memang teruji saat memegang kendali kekuasaan untuk benar-benar berjuang demi rakyat sebagaimana yang kerap digelorakan.
Sebagai ibu bangsa, Megawati masih menjadi figur sentral dalam pentas nasional.
Pentas teater kebangsaan bertajuk “Satyameva Jayate” (Hanya Kebenaran yang Berjaya) untuk memeriahkan HUT ke-71 Megawati hari ini dapat mewakili keteguhan dia sekaligus sebagai sekuel dari pementasan serupa tahun lalu untuk HUT ke-70 Megawati bertajuk “Tripikala” (Tiga Ajaran Kebajikan) yang juga disutradarai oleh Butet Kertarajasa.
Selamat ulang tahun Megawati.
Sumber: Antara
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS