Melalui pagelaran seni, hingga perlawanan frontal di Studieclub
INTIMIDASI atau bullying diterima Sukarno dari anak-anak muda Belanda di sekolahnya (Hoogere Burger School, HBS Surabaya), hegemoni kolonialis atas pribumi di berbagai sendi kehidupan, hingga kesengsaraan rakyat yang ia saksikan secara kasat mata, membuat darah muda Sukarno mendidih. Dia melawan.
Bersekolah di HBS, Sukarno termasuk dari 20 anak pribumi. Lainnya, dari 300 murid, adalah anak-anak Belanda. Sukarno merasa terkucil. Sebab, para pelajar Belanda seperti membuat jarak dengan para pelajar pribumi. Bahkan cenderung diskriminatif.
Diceritakan Sukarno dalam buku autobiografinya berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ditulis Cindy Adams, bahkan diskriminatif dan penghinaan sudah ia terima sejak pertama kali masuk sekolah HBS.
“Minggir anak inlander!” kata Sukarno menirukan ejekan pelajar Belanda. Sukarno tidak menuruti perintah itu. Bogem mendarat di hidung Sukarno. Putera sang fajar ini pun balas memukul.
Berita terkait: Sukarno Lahir di Rumah Kontrakan Dekat Sungai Peneleh, Surabaya
“Aku bukan seorang jagoan. Tapi, sekalipun aku dapat menahan penghinaan, aku tak dapat menghindari perkelahian. Kadang-kadang aku mengalahkan mereka, tetapi lebih sering aku yang kalah,” kata Sukarno.
Perlawanan Sukarno berkembang tak sekadar untuk membela diri sendiri. Namun mulai bertumbuh menjadi perlawanan ala pejuang seperti namanya: Sukarno.
Nama ini diberikan bapaknya, Soekemi Sosrodihardjo. Nama Sukarno terinspirasi dari Karna, nama panglima perang dalam cerita klasik Mahabharata. Pengajaran dari pengasuhnya semasa kanak-kanak, Sarinah, menentukan dimana Sukarno berpihak: rakyat kecil.
Didikan dari bapak kosnya, HOS Tjokroaminoto tentang cinta tanah air membawa pengaruh besar bagi Sukarno. Juga ihwal taktik dan upaya perjuangan yang ia serap dari berbagai diskusi para tokoh pergerakan di rumah Tjokroaminoto.
Pengaruh lainnya, tentu saja dari buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh dari berbagai belahan dunia yang ia lahap dari perpustakaan di Surabaya.
Berita terkait: Di Tulungagung, Bocah Sukarno Diajari Sarinah Ihwal Mencintai Rakyat Kecil
Berbagai situasi tersebut menjadi tempaan tersendiri bagi Sukarno. “Aku memiliki kesadaran itu semasih seorang anak. Aku membaktikan hidupku untuk tanah air sejak remaja, umur 16 tahun,” kata Bung Karno.
Masuk Kancah Pergerakan
Perjuangan pun dimulai. “Perkumpulan politikku yang pertama adalah Tri Koro Darmo,” cerita Sukarno.
Dihimpun dari berbagi sumber, organisasi ini didirikan pada 7 Maret 1915 di Gedung Stovia Jakarta. Tri Koro Darmo memiliki tiga tujuan. Satu, Sakti: memajukan pengetahuan umum untuk anggotanya supaya memiliki ilmu pengetahuan demi mendukung perjuangan kemerdekaan.
Dua, Budi: menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional agar memiliki kepribadian dan budi pekerti yang baik. Tig, Baik: mempersatukan para pelajar pribumi dalam berbaki pada tanah air dalam mencapai kemerdekaan.
Berita terkait: Sekolah Di Surabaya, Sukarno Digembleng Raja Jawa Tanpa Mahkota
Dalam perkembangannya, organisasi ini mendapat sambutan dari pemuda dan pelajar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berbagai cabang didirkan di kota-kota besar seperti halnya di Surabaya, dimana Sukarno bergabung.
“Kami melakukan sosialisasi nilai-nilai kebangsaan. Kami membaktikan diri untuk mengembangkan kebudayaan asli seperti seperti mengajarkan tari Jawa atau gamelan,” kata Bung Karno.
Pertama Kali Berpidato, Gemparkan Sekolah
Pada usia 16 tahun, saat Bung Karno sekolah di HBS, ia ikut kelompok ekstrakurikuler Studieclub. Kelompok ini membahas cita-cita dan gagasan-gagasan.
Diceritakan Bung Karno dalam buku autobiografinya, ketua kelompok mendapat giliran pidato. Sang ketua menyampaikan jika kewajiban bagi generasi ini untuk menguasai bahasa Belanda. Semua setuju dengan ide itu, kecuali Sukarno. “Tidak. Saya tidak setuju.”
Sukarno pun melompat dan berdiri di atas meja. Berpidato. “Tanah tumpah darah yang kita banggakan ini dulu pernah disebut nusantara. Artinya, ribuan pulau-pulau, dan banyak di antara pulau-pulau ini lebih besar dari negeri Belanda.”
Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Sukarno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila
“Aku berpendapat, pertama-tama yang harus kita kuasai adalah bahasa kita sendiri. Marilah kta memusatkan pikiran untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian, dalam hal bahasa asing, sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris yang sekarang merupakan bahasa diplomatik.”
“Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Jadi mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?”.
Pidato Sukarno membuat gempar seisi sekolah. Sebab, sebelumnya, tak ada gagasan seperti yang disampaikan Bung Karno. Direktur HBS, Tuan Bot, memandang Sukarno dengan muka masam. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS