
YOGYAKARTA – Akademisi UGM Cornelis Lay dikukuhkan menjadi guru besar kampusnya, kemarin. Dia menyampaikan pidato berjudul “Jalan Ketiga Peran Intelektual, Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan”.
Dirinya menuturkan, bahwa intelektual dan kekuasaan tak mungkin dipisahkan. “Intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian kualitas akademik, dan relasinya dengan negara,” ucap Conerlis.
Aktivis GMNI ini mengatakan, meski ada kekuasaan, harus tetap menempatkan kemanusiaan di setiap motifnya.
“Masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan kemanusiaan sebagai motif pokok. Ini memang menuntut kematangan, kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa dihasilkan secara instan,” ungkap Cornelis.
Dengan itu, maka tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan menjadi pondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat dalam filsafat kekuasaan, bertumpu pada kehendak yang sama. Yakni cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
“Kesamaan kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya. Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada dasarnya keduanya saling menghidupi, intelektual pasti hidup dalam kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, yang hadir di acara tersebut mengatakan, peran intelektual masih sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kekuasaan. Namun, watak dan cara kekuasaan yang terbentuk haruslah berinti pada kemanusiaan.
Menurut Hasto, pemikiran Cornelis itu sangat konstekstual. Pasalnya, memang harus ada jalan ketiga di mana tradisi intelektual masih dibutuhkan dalam kekuasaan.
“Kami sepakat, antara intelektual dan kekuasaan sangat dibutuhkan. Sehingga terjadi konvergensi untuk saling menemukan bagaimana watak kekuasaan intelektual itu dipertemukan oleh pengabdian kepada kemanusiaan,” kata Hasto.
Dia menegaskan, selama ini, watak kemanusiaan sebagai jiwa bagi intelektual maupun penguasa sering dilupakan. Sehingga yang terjadi adalah politik tanpa kemanusiaan dan tanpa peradaban.
Hasto menyontohkan fenomena saat ini yang disebut sebagai propaganda Rusia. Banyak studi dan pengalaman berbagai negara yang menemukan bahwa propaganda dengan berbasis pada penyebaran hoaks itu sebagai antikemanusiaan.
“Tesis yang terbaik adalah intelektual dan kekuasaan itu terus berada di jalan kemanusiaan,” kata Hasto.
Karena itu, yang disampaikan Cornelis tersebut adalah kritik terhadap praktik politik antikemanusiaan. Pada titik itu, penting bagi intelektual dan penguasa untuk selalu mempertemukan tujuan utamanya pada nilai-nilai kemanusiaan.“Sebab tanpa jalan kemanusiaan, tidak ada politik yang membangun peradaban,” tandas Hasto. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS