JAKARTA – Saling mengunjungi, mengucapkan permohonan maaf dan berjabat tangan adalah tradisi yang biasa dilakukan di Indonesia. Setidaknya, hal itu dilakukan setahun sekali ketika Hari Raya Idul Fitri.
Kebiasaan tersebut dilakukan baik oleh mereka yang merayakan Lebaran, atau sekadar menunjukkan rasa persaudaraan.
Kebiasaan itu tak cuma dilakukan oleh masyarakat di kelas menengah ke bawah. Para pejabat, elite politik, pimpinan lembaga negara, hingga presiden juga melaksanakan tradisi silaturahim itu.
Politik silaturahim
Kebiasaan itu pun dianut dalam suatu budaya politik. Tak soal perbedaan warna partai, ideologi, atau apa pun kepentingannya, tradisi ramah tamah atau silaturahim tetap dijalankan.
Segala perbedaan seolah-olah ditinggalkan sejenak guna mengikat tali silaturahim.
Peneliti Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan, budaya silaturahim memiliki kontribusi besar bagi proses konstruksi budaya politik adiluhung dan yang luhur di Indonesia.
Menurut Ubedilah, budaya politik yang memegang teguh etika telah dicontohkan para pendiri bangsa sejak puluhan tahun lalu.
Misalnya, menurut Ubedilah, kebiasaan silaturahim antara Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim maupun Sutan Syahrir.
“Meski mereka berbeda pendapat dalam berbagai hal, tetapi silaturahim mereka tidak putus. Budaya silaturahim telah melekatkan para pemimpin bangsa di masa itu,” ujar Ubedilah kepada Kompas.com, Rabu (28/6/2017).
Momentum Idul Fitri memang saat yang tepat untuk bersilaturahim. Presiden Jokowi, misalnya.
Dalam perayaan Lebaran tahun ini, Jokowi menggelar open house di Istana Negara. Berbagai anggota Kabinet Kerja, tokoh politik hingga masyarakat biasa dapat bersilaturahim bersama.
Masing-masing pejabat juga tak ketinggalan menggelar open house di kediaman masing-masing.
Bahkan, tradisi silaturahim juga tak perlu menunggu hingga umat Islam selesai melaksanakan Shalat Id.
Selama Ramadhan, setiap tokoh, lembaga negara maupun partai politik, biasanya menggelar acara buka puasa bersama.
Menyelesaikan persoalan
Menurut Ubedilah, ketegangan politik sebesar apa pun di antara elite politik, sesungguhnya dapat dicairkan melalui ajang silaturahim. Seringkali, suasana kehangatan dalam silaturahim mampu meredam ketegangan.
Menurut Ubedilah, penyelesaian persoalan melalui silaturahim tak jarang berhasil menimbulkan kesamaan pandangan.
Dengan budaya ini, politik tak lagi untuk kepentingan masing-masing golongan, tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Silaturahim yang dicontohkan para tokoh di Era 1945 sesungguhnya menunjukan bahwa mereka telah memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi negarawan, bukan sekadar politisi. Semoga politisi saat ini mulai bergeser menjadi negarawan,” kata Ubedilah. (kompas)