Oleh Dr. Sholikh Al Huda*
KONSEP Marhaenisme yang dicetuskan oleh Bung Karno merupakan ideologi kerakyatan yang lahir dari refleksi realitas sosial Indonesia pada masa kolonial. Istilah Marhaen diambil dari nama seorang petani kecil di Bandung yang ditemui Bung Karno pada 1920-an. Marhaenisme menekankan kemandirian, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap penindasan struktural, baik oleh kolonialisme maupun kapitalisme. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno menulis: “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia, sosialisme yang tumbuh dari bumi sendiri, dari penderitaan dan harapan kaum kecil.”
Di era kontemporer, khususnya dalam konteks generasi Z (Gen Z) yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tafsir atas Marhaenisme perlu diperbarui. Gen Z menghadapi tantangan baru berupa digitalisasi, krisis ekologi, ketimpangan ekonomi global, serta penetrasi budaya populer yang masif. Pertanyaannya: bagaimana Marhaenisme dapat ditafsirkan ulang agar relevan dengan aspirasi dan realitas Gen Z?
Gen Z dikenal sebagai generasi yang melek teknologi, adaptif terhadap perubahan, namun sekaligus rentan terhadap krisis eksistensial dan tekanan kompetisi global. Nilai dasar Marhaenisme—kemandirian, solidaritas, dan anti-penindasan—masih selaras dengan semangat kritis Gen Z.
Fenomena gig economy menampilkan wajah baru “Marhaen digital”: pekerja lepas yang bergantung pada aplikasi, tidak memiliki jaminan kerja, dan rentan eksploitasi algoritmik. Bung Karno dalam pidatonya Mencapai Indonesia Merdeka (1933) menegaskan, Marhaen itu bukan proletar semata, tetapi tiap orang kecil yang hidupnya terhimpit oleh sistem yang tidak adil. Tafsir kontemporer membantu Gen Z menyadari bahwa persoalan mereka bukan sekadar individual, melainkan struktural. Kemandirian Marhaen kini berarti berdikari secara digital: menguasai teknologi, membangun inovasi lokal, serta tidak hanya menjadi konsumen platform global.
Keadilan Sosial dan Aktivisme Gen Z
Marhaenisme mengandung visi besar tentang keadilan sosial, yang dalam Pancasila dirumuskan sebagai sila kelima. Gen Z hari ini banyak mengekspresikan keprihatinan atas isu keadilan sosial melalui aktivisme digital: kampanye lingkungan, kesetaraan gender, anti-korupsi dan hak minoritas.
Bung Karno pernah menegaskan dalam pidato HUT RI 1961, Marhaenisme adalah memperjuangkan mereka yang lemah, agar mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan yang kuat. Aktivisme digital Gen Z dapat dibaca sebagai kelanjutan dari revolusi Marhaen. Jika Marhaen di masa kolonial berjuang melawan kapitalisme feodal dan kolonialisme, maka Marhaen Gen Z berjuang melawan oligarki digital, ketimpangan informasi dan sistem ekonomi global yang menyingkirkan rakyat kecil.
Ekologi dan Marhaenisme Hijau
Isu lain yang relevan bagi Gen Z adalah krisis ekologi. Marhaenisme klasik berbicara tentang relasi manusia dengan alat produksi, tetapi tafsir kontemporer menuntut perluasan: relasi manusia dengan alam. Bung Karno pernah mengingatkan dalam pidato 17 Agustus 1960 tentang bahaya kapitalisme internasional yang menghisap bukan hanya tenaga manusia, tetapi juga kekayaan alam bangsa-bangsa.
Gen Z yang peduli isu lingkungan dapat menafsirkan Marhaenisme sebagai ideologi hijau—menuntut keadilan ekologis dan keberlanjutan. Marhaen hari ini bukan hanya petani kecil, tetapi juga komunitas penjaga hutan, nelayan tradisional, dan masyarakat adat yang melawan perampasan tanah. Tafsir ini memperluas Marhaenisme menjadi etika pembebasan ekologis.
Kemandirian Budaya dan Kreativitas Gen Z.
Selain ekonomi dan ekologi, tafsir Marhaenisme juga menyentuh ranah budaya. Bung Karno dalam pidato Pancasila (1 Juni 1945) menekankan pentingnya kepribadian bangsa sebagai dasar pembangunan. Di tengah arus budaya global, Gen Z sering terhimpit antara kebanggaan lokal dan dominasi budaya populer internasional.
Marhaenisme dapat ditafsirkan sebagai dorongan untuk melahirkan kreativitas yang berakar pada budaya lokal tetapi adaptif secara global. Fenomena content creator lokal, musik indie, atau gerakan start-up berbasis kearifan lokal adalah aktualisasi semangat Marhaenisme di era Gen Z. Identitas lokal bukan halangan, melainkan sumber daya kreatif untuk bersaing di tingkat global.
Tafsir kontekstual terhadap Marhaenisme di era Gen Z menunjukkan bahwa ideologi kerakyatan Bung Karno tetap relevan. Nilai-nilai kemandirian, keadilan sosial, dan perlawanan terhadap penindasan dapat diterjemahkan ke dalam konteks baru: pekerja digital, krisis ekologis, aktivisme media sosial, hingga kreativitas budaya.
Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi menulis, Marhaenisme adalah perjuangan tanpa henti untuk mengangkat derajat manusia kecil. Gen Z sebagai generasi kritis dapat menjadikan Marhaenisme bukan sekadar warisan sejarah, melainkan inspirasi hidup untuk memperjuangkan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Dengan tafsir ini, cita-cita Bung Karno tentang Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur tetap menyala dalam konteks zaman digital.
*Wakil Ketua BAMUSI Jawa Timur & Ketua Pusat Studi Islam dan Pancasila (PuSIP)