JAKARTA – Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari menepis pernyataan calon presiden Prabowo Subianto mengenai anggaran bocor sampai Rp 1.000 triliun
Eva menyebut, Prabowo telah salah mengartikan pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah arti Prabowo soal bukan kebocoran APBN, tetapi potensi memperoleh pendapatan nasional dari Rp 2.000 triliun menjadi Rp 4.000 triliun.
“Saya melihatnya Pak Prabowo terlalu semangat untuk mendelegitimasi sehingga salah merujuk data maupun referensi soal kebocoran,” kata Eva Sundari, kemarin.
“KPK kemudian meluruskan bukan kebocoran, tetapi potensi untuk memperoleh pendapatan nasional dari pengelolaan sumber daya alam, yang hingga saat ini belum teradministrasi dengan bagus,” lanjutnya.
Eva berpendapat, sebenarnya bukan APBN yang bocor, tapi memang sistem administrasi pemerintahan yang saat ini belum berjalan sempurna. Misalnya, banyak tambang yang ilegal, kemudian juga banyak penyelundupan.
Oleh karena itu, ungkap Eva, calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo sudah membuat perencanaan mengubah sistem administrasi. Tujuannya untuk mencegah celah korupsi sekecil mungkin.
“Bukan dari APBN, APBN memang masih ada yang dikorupsi tapi jumlahnya tidak seperti itu. Karena kita belum full maunya Pak Jokowi yaitu e-budgeting, e-spending, e-planning dan seterusnya,” terangnya.
“Kalau itu sudah terlembaga secara full, maka kebocoran itu tidak akan terjadi. Jadi, bukan karena kita lalai, tapi memang sistem menyebabkan kecurangan itu masih bisa menerobos dari sistem yang lemah ini,” sambung Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf tersebut.
Jadi, soal kebocoran anggaran di pemerintahan Jokowi yang kerap dibeberkan Prabowo kepada masyarakat, menurut Eva, karena Prabowo terlalu bersemangat mendelegitimasi.
Padahal, sebut Eva, soal ‘kebocoran’ parah bukan ada di masa kini, tapi di masa orde baru, saat presidennya dipegang Soeharto.
“Jadi kalau soal bocor yang paling parah ya zamannya mertua beliau, karena belum ada APBN satu pintu. APBN-nya itu banyak pintu sehingga tidak terdeteksi oleh pengawasan kepres-kepres banyak banget itu,” tegas anggota Komisi XI DPR RI tersebut.
Terbukti ketika era Soeharto dulu, para pengusaha menurutnya diminta untuk menyumbang melalui Jimbaran Club, bukan melalui proses APBN. “Itu kan tidak melaui proses APBN, kalau tidak kemudian Pak Harto kok kemudian diputuskan pengadilan menilep uang negara banyak banget,” jelas dia.
Sehingga, untuk mencegah kebocoran yang terjadi sistem tersebut diperbaiki yakni APBN satu pintu. “Makanya menangkan Pak Jokowi karena Pak Jokowi tahu apa dan bagaimana yang harus dilakukan untuk membangun sistem yang imun terhadap kecurangan,” pungkasnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS