SURABAYA – Anggota Komisi D DPRD Kota Surabaya, Dyah Katarina, mengatakan bahwa sampai saat ini terdapat data penerima bantuan sosial yang saling tumpang tindih dan belum maksimal, sehingga pemberian bantuan tersebut tidak merata dan tidak tepat sasaran.
“Kami di Komisi D DPRD Kota Surabaya itu sering rapat dengan dinas sosial, dan ini menjadi masalah yang tren ya, merata di seluruh Surabaya bahwa masalah pendataan itu masih belum bagus. Data itu masih tumpang tindih,” ujarnya usai menggelar reses di Balai RW 2, Menanggal, Gayungan, Surabaya, Minggu (18/10/2021) malam.
Hingga di titik keempat ia menggelar reses, persoalan yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah terkait pendataan dan penyaluran bantuan sosial yang kurang merata. Salah satunya disampaikan oleh Gatot, warga setempat yang menyampaikan aspirasinya melalui daring.
“Saya warga Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sejak awal pandemi sampai sekarang saya belum mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah. Padahal dulu pernah didata oleh dinsos, tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutannya,” ujarnya.
Sementara itu, Cintya asal Ketintang Surabaya mengatakan, bahwa di tempat tinggalnya, banyak warga yang mengeluhkan terputusnya penerimaan bantuan sosial.
“Di tempat saya dan kemungkinan di tempat lain juga terjadi masalah PKH atau KKS maupun BST itu banyak yang terputus. Padahal kita dapati rumahnya kecil, kondisi keluarga mereka banyak tanggungan, kerjaan juga terdampak pandemi,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Dyah Katarina menegaskan akan mendorong terus Dinas Sosial Surabaya untuk melakukan pendataan dengan benar, mengupdate data secara berkala, sehingga sasaran dan pemetaan penerima bantuan sosial itu jelas.
“Laporan dari masyarakat itu akan terus kita tampung sebagai perbaikan-perbaikan. Jadi, justru kita tidak menghindari masalah, tapi kita terus menggali. Jadi, yang bisa saya lakukan adalah mendorong terus dinas sosial,” tandasnya.
Selain persoalan bantuan sosial, beberapa masyarakat juga mengeluhkan soal seragam sekolah anaknya. Satu di antaranya adalah Indra Wahyudi, warga Gayungan.
“Waktu pembagian seragam itu, anak saya tidak dapat. Saya sebagai orang tua tidak ada uang waktu itu, karena saya kuli bangunan dan sampai 3 bulan itu tidak ada kerjaan. Ibunya di rumah saja, karena ada diabetes. Jadi, capek sedikit tidak kuat, lalu diminta beli seragam seharga Rp 1.300.000 berapa gitu,” kata bapak dua anak ini yang akrab disapa Yudi.
Lantaran terkendala biaya, pada saat tatap muka, anak Yudi yang duduk di bangku kelas dua SMP negeri ini terpaksa tidak memakai seragam sekolah dan hanya menggunakan pakaian bebas.
“Untungnya tidak lama tetangga saya memberikan bantuan kain, lalu ada juga yang membantu menjahitkan,” katanya.
Mengetahui itu, Dyah Katarina mengatakan bahwa mungkin masih ada sekolah yang belum tersosialisasi terkait seragam sekolah pelajar di Surabaya.
“Ini gejolak-gejolak yang perlu kita cermati, tapi yang penting untuk MBR seragamnya gratis, yang sudah terlanjur membeli uangnya akan dikembalikan. Karena itu, saya minta data masyarakat yang mengeluhkan hal tersebut,” tandasnya.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Surabaya itu juga menyampaikan, bahwa Pemkot Surabaya telah menyiapkan anggaran dan penyediaan 46 ribu seragam sekolah untuk pelajar SD dan SMP terkategori MBR. Anggaran dan penyediaan ini pun sudah disetujui oleh DPRD Surabaya. (Dhani/set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS