Kebahagiaan adalah hal yang dicari oleh setiap manusia di seluruh penjuru dunia, mulai dari yang berusia muda hingga yang berusia tak lagi muda. Sayangnya yang kerap ditemui justru kebalikannya. William Blake (1978) dalam puisinya yang berjudul London mengungkapkan ceceran ketakbahagiaan lewat larik seperti ini: Sebuah tanda di setiap wajah yang kujumpai/Tanda-tanda kelemahan, tanda-tanda sinar permusuhan. Penggalan larik puisi ini menyiratkan sebuah makna bahwa ada wajah-wajah risau di antara derai tawa orang-orang di taman, ada wajah-wajah ketakutan di balik senyum manis seorang resepsionis, bahkan ada wajah-wajah kebencian yang bersembunyi lewat sopan santun seorang karyawan. Fakta telah membuktikan bahwa di kota Tangerang, seorang karyawan membunuh bosnya sendiri gegara dimaki-maki (jawapos.com, 2021). Berdasarkan potret ironi seperti ini, muncul sebuah pertanyaan: Bagaimanakah cara menjadi bahagia?
Menjawab pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya, satu di antara cara menjadi berbahagia adalah dengan merenungi kehidupan para santri di pondok pesantren. Terdapat banyak fenomena dalam kehidupan pesantren, jika direnungi lebih dalam, ternyata menjadi dasar-dasar menggapai kebahagiaan. Sebut saja seperti tradisi menjadi abdi dalem, konsep ‘punyamu adalah punyaku’ antarsantri, cara-cara unik dalam menghormati kyai, hingga cara santri memaknai ‘kiriman telat’.
Bertrand Russell (2020), seorang filsuf kenamaan dari Inggris yang ahli matematika serta logika menyebutkan bahwa salah satu sumber kebahagiaan adalah menghargai rasa cinta. Alasan utamanya adalah karena cintalah yang dapat memperindah setiap hal untuk mencapai kenikmatan tertinggi. Mendengarkan musik terasa sangat menenangkan kala disertai dengan cinta; menikmati senja terasa sangat mempesona sebab didasari rasa cinta; hingga melayani kyai dan keluarganya terasa sangat membahagiakan gegara dilandasi rasa cinta, sebagaimana yang dilakukan oleh para santri di pondok pesantren. Santri yang melayani kyai dan keluarganya lazim disebut dengan istilah abdi dalem. Meskipun harus mengerahkan tenaga secara fisik, para abdi dalem tetap menikmati hal tersebut dengan rasa bahagia karena dilandasi dengan rasa cinta.
Tak hanya rasa cinta, sumber kebahagiaan lainnya yang dimiliki para santri pondok pesentren adalah merasa senang dengan kegembiraan orang lain seperti yang disebutkan oleh Bertrand Russell. Sikap spiritual seperti inilah yang membuat para santri dapat menikmati kebahagiaan di pondok pesantren. Hal ini dapat ditemui saat ada santri yang dijenguk oleh orang tuanya (untuk mendapatkan uang bulanan dan biasanya disertai dengan beberapa makanan), maka santri yang lain akan ikut merasa senang. Konsep ‘punyamu adalah punyaku’-lah yang membawa para santri menuju pemahaman, bahwa kebahagiaan satu santri adalah kebagiaan semua santri. Makanan yang diperoleh santri dari orang tuanya pada akhirnya akan berakhir di tangan semua santri untuk dinikmati bersama-sama.
Bertrand Russell juga menambahkan setiap orang akan menemui kebahagiaan jika tidak membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, baik yang memuliakan maupun yang dimuliakan. Tak perlu diperdebatkan siapa yang paling hebat di antaranya, karena dua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing sebagaimana antara majikan dan karyawan. Jika karyawan takut dipecat, maka majikan juga takut bisnisnya bangkrut. Dua-duanya memiliki ketakutannya sendiri-sendiri, sehingga tak perlu menyiksa diri dengan memperbandingkan diri. Konsep seperti inilah yang diterapkan oleh para santri di pondok pesantren.
Santri tidak sibuk membanding-bandingkan diri dengan kyai, karena mereka paham cum sadar bahwa antara santri dan kyai memiliki hak dan kewajibannya sendiri-sendiri. Santri berkewajiban memuliakan kyai karena telah diberi ilmu, sedangkan kyai berkewajiban memberikan ilmu dengan tulus hati. Dua-duanya memiliki tingkat kesulitannya sendiri-sendiri. Saat para santri mendadak menghentikan segala aktivitas (mulai dari mencuci baju, antre mandi, atau sekadar duduk santai menunggu bel mulai ngaji) gegara sang kyai memasuki area pondok pesantren, maka saat itu pula sang kyai sedang bersusah payah menjaga setiap ilmu yang dimiliki agar tetap menebar manfaat kepada para santri.
Di dalam keterangan lain, tepatnya di dalam kitab Nashoihul Ibad milik Imam Nawawi, disebutkan bahwa Hamid al-Laffaf mengatakan satu di antara sumber kebahagiaan adalah kaya. Namun kaya yang menjadi sumber kebahagiaan bukanlah harta yang berlimpah, tetapi dari hati yang senantiasa merasa cukup. Keberterimaan di dalam hati atas segala hal yang telah terjadi dimiliki oleh para santri di pondok pesantren karena terbiasa dengan tragedi ‘kiriman telat’. Maksud dari istilah ‘kiriman telat’ adalah jatah bulanan para santri dari orang tuanya tidak diterima oleh para santri dengan tepat waktu karena beberapa hal, mulai dari faktor kelupaan orang tua atau memang karena faktor kesulitan ekonomi.
Atas dasar inilah, para santri melatih diri untuk menghadapi situasi-situasi tak terduga yang tak pernah diingini sebelumnya. Banyak cara yang dilakukan oleh para santri untuk ‘bertahan hidup’ kala jatah bulanan mereka telat, seperti berpuasa; masak dengan bahan-bahan seadanya; atau berutang pada santri yang lain terlebih dahulu. Lama-kelamaan, berbekal dari sikap berterima atas pengalaman sulit saat di pondok pesantren, seseorang akan dengan mudah mencukupkan hatinya dengan keadaan-keadaan yang telah ditakdirkan. Rasa cukup inilah yang membuat seseorang memiliki rasa damai di dalam hati, meskipun tidak dikelilingi dengan gelimang harta yang tak terhingga. Sekaya-kayanya seseorang, ia akan tetap merasa miskin (kurang) kala tak ada rasa cukup di dalam hatinya. Sebaliknya, sekurang-kurangnya harta seseorang, ia tidak bisa disebut miskin ketika hatinya tak pernah merasa kekurangan.
***
Akhir kata, kesehatan spirituallah yang menjadi sumber kebahagiaan para santri. Rasa cinta, ketiadaan iri di dalam hati, dan keberterimaan diri atas takdir yang telah terjadi adalah bentuk kesehatan spiritual para santri di pondok pesantren yang dapat mendukung kesehatan biologis. Mengamini adagium latin yang berbunyi mensana in corpore sano, di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat.
Sebab itu, meskipun kehidupan para santri dikelilingi oleh stigma-stigma menyedihkan (misalnya para santri disiksa rindu sebab jauh dengan orang tua, dipenuhi derita karena harus rajin berpuasa, dan dipaksa belajar tiada henti), realita yang sebenarnya terjadi justru berbanding terbalik. Para santri di pondok pesantren mendapatkan dasar-dasar kebahagiaan lewat kebiasaan yang dialami selama tinggal di pondok pesantren. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS