Perihal makan memang tidak sekedar pemenuhan kebutuhan biologis. Ada kebutuhan citra, persepsi, narsisme, bahkan ideologi. Geger kerumunan antri berburu paket kuliner di gerai makan cepat saji, jelas dipicu oleh kesadaran sensasional. Kesadaran yang dikonstruksi oleh industri media. Tapi penulis tidak ingin masuk membincang peristiwa itu dengan telaah budaya populer. Ada hal yang lebih penting disikapi secara kritis, soal daulat pangan.
Sekitar tahun 1991, kuliner merk asing masuk Indonesia. Tapi hingga saat ini belum menyerap 100 persen bahan produksi lokal. Awal tahun 2020, sebagian pengusaha kuliner asing itu mengaku masih mengimpor kentang dari luar negeri untuk menu french fries. Bahkan sebagian bahan baku daging masih mengimpor dari Australia dengan label halal untuk menu burger. Sampai kapan kita mengalami imprealisme pangan semacam itu?
Bentuk Kekalahan
Kita tidak bisa menolak globalisasi atau merk kuliner asing. Tapi jangan lengah dikalahkan produk asing yang tak menguntungkan bangsa sendiri. Geger antrian di gerai McDonald’s itu peristiwa kecil yang mencerminkan kemenangan industri besar kuliner asing. Mereka telah berhasil menuntun selera konsumsi kita. Membawa generasi muda kita semakin jauh dari khazanah kuliner Nusantara. Kekalahan budaya kuliner di negeri sendiri.
Dua puluh tahun lalu, mie instan adalah makanan mewah dan asing bagi masyarakat pedesaan. Kini nyaris jadi menu harian masyarakat hingga wilayah pelosok. Padahal sebagian bahan bakunya masih impor. Mereka juga berhasil melakukan imitasi rasa masakan Nusantara dalam kemasan instan. Baik secara ekonomi atau budaya sektor kuliner kita tidak sedang baik-baik saja.
Bahkan kita menemukan kekalahan yang lebih rumit dari persaingan ekonomi atau budaya. Yakni aspek keamanan pangan. Keamanan pangan bukan semata ketersediaan pangan. Tetapi meliputi keterjaminan pangan yang sehat untuk tubuh. Para ahli gizi yang jujur tentu paham, makanan kemasan tidak lebih sehat dibanding makanan kupasan. Makanan yang langsung diolah dari bentuk aslinya. Analogi sederhana, makan puding rasa apel itu berbeda dengan konsumi buah apel. Kandungan gizinya pun tentu berbeda.
Kita ini bangsa kaya. Apa saja bisa tumbuh di sini. Semua jenis makanan sehat bisa kita peroleh dari hasil pertanian sendiri. Kita juga kaya khazanah kuliner yang layak dijajakan di etalase pasar modern. Bahan bakunya bisa kita serap dari petani dalam negeri. Mengapa kita harus antri makan kentang impor?
Argumentasi itu tidak berpretensi menolak merk dagang kuliner asing. Di dunia yang semakin terbuka pertukaran merk dagang sudah niscaya. Tetapi bagaimana kita menapak jalan bersaing di lapak sendiri, memegang kendali, dan diuntungkan secara ekonomi. Itu idealnya, guna menopang kesejateraan masyarakat. Bukan semata menguntungkan koorporasi dan segelintir elit. Sebab kita bangsa merdeka.
Sepertinya kita perlu menengok ulang, apa yang digelorakan Bung Karno tentang nasionalisme pangan.
Warisan Bung Karno
Juni dikenang banyak orang sebagai bulan Bung Karno. Di tengah Bulan Bung Karno, kita digegerkan oleh antrian di gerai makan cepat saji berbahan baku impor. Itu peristiwa kecil yang penting dilihat dengan kaca mata visi kemerdekaan. Kata Bung Karno, “Pangan adalah urusan hidup-mati bangsa”. Pangan dan kuliner bukan semata soal perut. Apa yang kita makan mencerminkan siapa kita.
Narasi besar Bung Karno tentang berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, semestinya juga tercermin di sektor pangan atau kuliner. “Grondwet yang berisi droits de l ’homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin.” Itu kutipan pidato Bung Karno, 14 Agustus 1945.
Sebelum proklamasi kemerdekaan, Bung Karno telah mewariskan nalar berfikir tentang daulat pangan dan arti kemerdekaan untuk kita. Bahkan secara praktis, Bung Karno juga mewarisi kita pondasi bagaimana semestinya berdaulat di sektor pangan. Merawat kuliner Nusantara. Menjaga pijakan nyata imajinasi satu bangsa lewat khazanah kuliner yang dimiliki. Pada tahap selanjutnya diandaikan sebagai penopang ekonomi.
Jejak warisan itu bisa kita temukan pada buku berjudul “Mustika Rasa Indonesia.” Buku setebal 1.123 halaman memuat resep aneka masakan nusantara yang kehadirannya diinisiasi sendiri oleh Bung Karno di tahun 1964. Bung Karno mengumpulkan sejumlah pamong praja, ahli kuliner, serta ahli gizi dalam rangka pembuatan buku itu.
Ide Bung Karno menyusun buku “Mustika Rasa Indonesia”, tidak cukup dipahami sekedar dokumentasi resep masakan Nusantara. Ada visi kedaulatan dan kesadaran identitas sebagai bangsa yang merdeka. Spirit dasarnya itu nasionalisme. Nasionalisme abad 21 adalah kemampuan merawat identitas dan sekaligus kemampuan bersaing di berbagai bidang di kancah global. Termasuk di sektor kuliner.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS