JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan MH Said Abdullah menyikapi adanya anggapan, bahwa dalam sejumlah pemilihan gubernur, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan berhadapan dengan calon yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Saya perlu menjelaskan atas pertanyaan rekan-rekan pers soal anggapan tersebut. Pertama: kita harus melihat bahwa kerja sama politik dalam pilkada harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik,” kata Said Abdullah di Jakarta, Selasa (24/9/2024).
“Cara pandang ini harus klir lebih dulu. Sebab kontestasi pilkada adalah jalan demokratis dan konstitusional kita mendapatkan pemimpin di daerah,” sambungnya.
Setelah pilkada, lanjut Said, semua pihak yang tadinya berkontestasi hendaknya rukun kembali, bersama-sama membangun daerah dengan perannya masing-masing.
Kedua, paparnya, terbentuknya kerja sama politik di pilgub dari sejumlah daerah dari KIM bahkan KIM Plus harus dilihat konteks politik paska pilpres dan sebelum lahirnya Putusam MK No. 60 pada tanggal 20 Agustus 2024.
“Kalau saya baca, saat itu memang ada sejumlah keinginan dari sejumlah elit politik yang ingin mengulang kesuksesan pada pilpres dalam pilkada. Namun setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya sejumlah figur calon kepala daerah, peta politik telah berubah,” ujar Said.
Ketua Banggar DPR RI ini mencontohkan Daerah Khusus Jakarta (DKJ), awalnya untuk menukar Ridwan Kamil dari Jabar ke DKJ, sekaligus untuk menghadapi atau seakan akan untuk menghadang Anis Baswedan.
“Namun dengan munculnya nama Mas Pramono Anung, saya kira peta juga berubah. Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega,” sebutnya.
Fakta politik baru inilah yang menurut Saud, harus kita cermati, agar tidak semata mata terpaku pada kerja sama politik formalistik.
Demikian juga dengan munculnya figur Andika Perkasa di Jawa Tengah. Apapun itu, tambah dia, Andika pernah menjadi “simbol” karena pernah menjabat pucuk pimpinan TNI.
Latar belakang ini yang menurutnya, tidak bisa dianggap remeh. Dia pun menyebut situasi ini juga bisa mengubah peta pilkada di Jawa Tengah.
Apalagi, Andika juga berhubungan baik dengan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Bahkan Andika pernah menjadi pembantu Jokowi saat menjabat Komandan Paspampres yang menjaga 24 jam Jokowi baik bertugas ataupun tidak bertugas.
Ketiga, lanjut Said Abdullah, kontestasi pilkada adalah kontestasi figur. Yang “dijual” ke rakyat adalah figurnya, menyangkut prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politiknya dengan pemilih, strategi pemenangan, dukungan logistik, jaringan sosial, dan lainnya.
Tidak bermaksud mengerdilkan partai-partai pengusung, namun apapun itu, pemilih tetap melihat figur yang diusungnya.
“Dalam survei kita sering mendengar split ticket voting, yaitu pendukung partai A, dimana Partai A mendukung kandidat yang tidak dinginkan oleh pendukung Partai A tersebut. Sehingga mereka memilih mendukung figur dalam pilkada yang diusung Partai B karena dianggap lebih memenuhi harapannya,” beber Said.
Dia menyatakan, faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar. Sebab belum tentu aras elit sejalan dengan aspirasi grassrootnya.
“Mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira pilkada akan semakin dinamis. Dengan demikian kita tidak bisa terpaku hanya formalitas kerja sama politik,” tutupnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS