JIKA mengangkat senjata yang dilakukan dengan sadar dan semangat patriotisme menjadi penanda revolusioner, NU dan ormas-ormas Islam dalam masa yang sama adalah organisasi revolusioner. Baratayudha yang menjadi palagan revolusioner itu adalah 10 November yang suhunya menaik dari hari ke hari. Mulai dari fatwa Resolusi Jihad NU yang diserukan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 hingga Maklumat Jihad Moe’tamar Islam Indonesia.
Ya, bukan hanya NU, tetapi sekalian seluruh pergerakan besar umat Islam, menunjukkan patriotisme yang antiimperialisme. Mari kita baca judul besar di halaman depan koran Kedaulatan Rakyat y ang terbit di Yogyakarta sehari sebelum 10 November 1945: “50 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berdjihad Fi Sabilillah”. Judul itu diikuti judul yang lain: “Perang didjalan Allah oentoek menentang tiap-tiap pendjadjahan”.
Jadi, tiga hari sebelum api perang membakar Surabaya, kota-kota Republik yang lain seperti Yogya sedang memanggang tekad perlawanan semesta.
Di Yogyakarta, Moe’tamar Islam Indonesia yang berlangsung pada 7-8 November 1945 mengeluarkan maklumat yang menjadi countdown perang total. Salah tiga dari maklumat itu adalah (1) “memperkoeat persiapan Oemat Islam oentoek berdjihad fi sabilillah”, (2) “memperloeas barisan pertahanan Negara Indonesia dengan ber-bagai2 oesaha”, dan (3) “menghormati dan menghargai djasa pahlawan2 teroetama Angkatan Moeda, baik jang tewas maoepoen jang tidak dalam perdjoeangan menegakkan Kedaulatan Negara”.
Tiga hari setelah maklumat itu disebar, api perang dahsyat sudah pecah di Surabaya. Saya tentu saja tidak perlu menggambarkan rekonstruksi secara detail bagaimana berlangsungnya perang akbar itu.
Yang saya ingin garis bawahi adalah di tahun-tahun awal negara nasional ini terbentuk, relasi antara negara nasional dan agama merupakan satu sekutu yang teguh dan bukan dalam posisi vis a vis. Bensin yang membakar Perang Surabaya itu melibatkan patriotisme agama yang dalam bahasa salah satu butir maklumat Moe’tamar Islam Indonesia adalah “bahwa tiap2 bentoek pendjadjahan adalah soeatoe kezaliman jang melanggar peri kemanoesiaan dan njata2 diharamkan oleh Agama Islam”.
Atau, dalam salah satu isi teks “Resolusi N.U. Tentang Djihad fi Sabilillah”, “bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menoeroet hoekoem Agama Islam termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 oerang Islam”.
Dari butir itu, kita menjadi mengerti bahwa semangat 10 November itu adalah semangat memberi segalanya untuk kedaulatan negara dari segala bentuk penjajahan (kembali). Bukan saja harta yang diberi, tetapi juga nyawa.
Artinya, ini momen pengorbanan yang luar biasa besarnya. Dua pokok, yakni agama dan semangat nasionalisme, saling mengikat janji di awal tahun ketika keluarga besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk.
Dalam kasus yang spesifik, yakni Nahdlatul ‘Ulama atau NU, peristiwa 10 November menjadi bukti besar bagaimana kaum santri bersabung nyawa tanpa reserve untuk tegaknya proyek nasional bernama “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Jika hari ini NU gigih memperlihatkan diri sebagai pembela kedaulatan negara dari semua anasir yang merubuhkannya, kita bisa mengerti.
Dari situlah kita kemudian disadarkan bahwa 10 November merupakan situs bahwa urusan NU bukan sekadar agama dan tak boleh NU terus-menerus dicitrakan “hanya bisa” soal agama. Mobilitas vertikal lewat pendidikan yang makin ke sini makin membaik dari generasi ke generasi membuat kecakapan NU mengalami diversifikasi.
Betul, jika kita mengambil permisalan politik bagi-bagi kursi menteri pada sebulan belakangan ini, NU identik betul dengan Kementerian Agama. Padahal, NU tidak sekadar itu. Narasi besar dari palagan 10 November menjadi momentum untuk memeriksa ulang bahwa NU bisa menjadi bagian dari kehidupan-kehidupan nasional selain urusan keagamaan.
Hal itu kita bisa lihat bagaimana santri-santri yang lahir dari rahim NU berjibaku mengabdi dan berproses di luar kementerian agama. Menteri Desa, diakui atau tidak, secara kultural mereka ada NU. Santri NU juga, kalau merujuk pada sejarah kementerian dalam dua dekade terakhir, bisa kita temukan di Kementerian Sosial dan Kementerian Pertahanan.
Yang unik, tentu saja, saat Mohammad Nuh terpilih menjadi menteri di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2009-2014). Ia perjumpaan dari tiga hal sekaligus, yakni NU (santri dan pengurus), 10 November (Rektor Institut Teknologi Sepuluh November atau ITS), dan negara (Menteri di Kemdikbud).
Demikianlah, NU itu melampaui garis demarkasi pengurus besarnya. NU itu kultural, PBNU itu struktural. NU itu, dalam genealogi pengetahuannya, bisa mengurus segala hal yang berkenaan dengan tegaknya kedaulatan bangsa dan negara.
*)Diana AV Sasa, Anggota DPRD Jawa Timur (2019-2024)
Sumber: ngopibareng
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS