JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menyoroti lemahnya dukungan anggaran untuk sektor ekonomi kreatif (ekraf) dan UMKM yang dinilai masih jauh dari kebutuhan nyata di lapangan.
Menurutnya, alokasi anggaran yang ada seringkali belum menjawab problem masyarakat secara langsung.
Dia menekankan agar dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) 2026, pemerintah tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tapi juga memberi perhatian pada ekosistem digital dan keberlanjutan operasional UMKM.
“Banyak program yang terlihat besar di atas kertas, namun di lapangan tidak menjawab persoalan riil masyarakat. Jangan sampai hanya menambah bangunan, tetapi tidak ada nyawa dalam pengelolaannya,” ujar Novita dalam rapat kerja bersama Menteri UMKM dan Menteri Ekraf/Bekraf di DPR RI, Kamis (4/6/2025).
Politisi PDI Perjuangan asal Trenggalek itu juga menyoroti lemahnya pengelolaan royalti di sektor ekraf, terutama bagi pelaku musik, film, dan industri game. Menurutnya, publisher digital harus masuk dalam rancangan anggaran agar royalti terukur dan pelaku ekraf terlindungi.
“Kreator kita masih kesulitan mendapatkan hak ekonomi yang layak. Ini PR besar, karena digitalisasi tanpa regulasi yang jelas hanya akan membuat mereka terus dirugikan,” tegasnya.
Selain itu, legislator perempuan dari dapil 7 Jawa Timur itu menekankan pentingnya dukungan nyata untuk perfilman Indonesia, terutama yang mengangkat budaya lokal dan destinasi wisata. Menurutnya, film bukan sekadar hiburan, tapi juga pintu masuk pariwisata dan diplomasi budaya.
Dalam isu UMKM, Novita Hardini mengkritik keberadaan Pusat layanan Usaha Terpadu-Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah (PLUT- KUMKM) yang di banyak daerah hanya menjadi bangunan kosong tanpa pengawasan dan operasional yang optimal. Dia menegaskan perlunya kerja sama lebih erat dengan pemerintah daerah, termasuk soal keberlanjutan kebutuhan dasar seperti listrik dan pendampingan digital.
Tak hanya itu, Novita Hardini juga menyoroti praktik e-commerce yang merugikan pelaku UMKM.
“Di lapangan, potongan e-commerce terhadap UMKM bisa mencapai 15%. Padahal aturan FAQ hanya menetapkan 8%. Ini jelas merugikan dan harus segera dievaluasi,” tegasnya.
Pemerintah, sebutnya, juga tidak bisa hanya berorientasi pada target serapan anggaran, tapi harus memastikan efektivitas dan keberlanjutan program.
“Anggaran itu harus hadir untuk rakyat, bukan sekadar laporan. RKAKL 2026 harus menjawab tantangan riil, dari royalti kreator digital, perfilman budaya, hingga UMKM yang benar-benar hidup dan berdaya saing,” tutupnya. (nia/pr)










