SUDAH lebih dari setengah jam Megawati Soekarnoputri berbicara panjang lebar tentang tantangan baru dalam tatanan global di hadapan para akademisi dan peneliti dari 32 negara. Tiba-tiba, ia mencondongkan badan ke arah mikrofon, seolah memberi isyarat agar hadirin lebih menyimak.
Presiden ke-5 RI itu mengaku tak memiliki telepon genggam pribadi. “Jadi, saya enggak punya HP (handphone), enggak,” ujar Megawati dalam seminar Internasional “Commerative Seminar of The 70th Anniversary of The 1955 Bandung Asian-African Conference: Bung Karno in a Global History” di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025).
Megawati lalu seakan menguji para hadirin dengan pertanyaan mengapa dirinya sampai tidak memegang telepon genggam pribadi. “I don’t have HP, do you know why?” ucapnya sambil menutup mulut dan menampilkan raut wajah serius.
Hadirin pun menanti jawaban itu keluar langsung dari putri Presiden pertama RI Sukarno tersebut. Tak berselang lama, Megawati pun mengungkapkan alasannya.
Dengan bahasa Indonesia bercampur Inggris, ia berkelakar bahwa banyak orang ingin tahu tentang dirinya, bahkan mengintainya, tetapi tidak semuanya memiliki niat baik. Megawati juga mengaku sempat berpikir perlu ada aturan mengenai penggunaan HP.
“Karena saya orang yang dicari. Do you understand what I mean? Everybody wants to know me, but not everybody is a good person. Jadi, saya enggak punya HP, enggak. Kalau orang bilang ngintel, intel or spying,” ucap Megawati disambut tepuk tangan hadirin.
Megawati lalu menyinggung kebiasaan orang-orang masa kini yang lebih sibuk menatap layar dibanding mendengarkan isi pembicaraan.
“Untuk apa kalian datang kalau telinganya tidak dipakai untuk mendengarkan sesuatu yang berarti? Sorry for my friend, this is not for you, this is for my people. Juga kalian boleh ngomong, sekarang juga di luar negeri banyak yang begitu, orang serius tidak banyak lagi,” katanya.
Dari Blitar, kota yang sarat jejak sejarah, Megawati seolah mengajak dunia kembali merenungkan makna Konferensi Asia Afrika (KAA) tujuh dekade silam tentang solidaritas, kemerdekaan, dan kesadaran diri di tengah dunia yang kini justru dikuasai kekuatan teknologi.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) rutin menggelar peringatan KAA ini setiap tahun sebagai momentum menghidupkan kembali semangat solidaritas dan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pernah digelorakan Presiden Sukarno pada KAA pertama di Bandung, 1955.
Imperialisme Baru
Dalam pidatonya, Megawati memaparkan bahwa para tokoh pembebas bangsa-bangsa Asia dan Afrika pada masa lalu berjuang melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme. Namun, kini dunia menghadapi tantangan baru yang tak kalah berbahaya.
Perkembangan teknologi melaju cepat, tetapi arah moralnya kian kabur. Ia pun menyinggung kemunculan kecerdasaran buatan (artificial intelligence/AI), big data, dan sistem digital lintas batas.
Di satu sisi, kemajuan itu membuka peluang besar bagi peradaban. Akan tetapi, di sisi lain menghadirkan ancaman dominasi baru ketika teknologi tak diimbangi tanggung jawab kemanusiaan.
Alhasil, ini akan melahirkan bentuk baru dari imperialisme global. Negara-negara maju menjadi pemilik dan pengendali data, sementara negara berkembang hanya menjadi pengguna algoritma yang tidak mereka kuasai.
“Jika dulu penjajahan hadir dengan meriam dan kapal perang, kini ia datang melalui algoritma dan data. Kita menyaksikan bagaimana teknologi mampu menembus batas negara, tapi sekaligus mengikis batas nurani,” kata Megawati.
Gagasan ini bukan sekadar retorika. Sejumlah riset internasional, termasuk Digital Economy Report 2024 yang dirilis oleh UN Trade and Development (UNCTAD), menunjukkan ekosistem digital dunia kini semakin terkonsentrasi di tangan segelintir raksasa teknologi global yang sebagian besar berbasis di Amerika Serikat dan Eropa.
Mereka menguasai infrastruktur, data, dan algoritma yang menjadi fondasi ekonomi digital dunia. Sementara itu, negara berkembang seperti Indonesia menjadi pasar sekaligus pemasok data tanpa kedaulatan penuh atas infrastrukturnya.
Bagi Megawati, tantangan digital ini bukan semata persoalan ekonomi, tetapi persoalan kemanusiaan dan kedaulatan bangsa. Tanpa pengendalian terhadap teknologi dan data, kemerdekaan sejati sulit tercapai.
“Dunia membutuhkan a new global ethics, aturan moral global baru, untuk menata kembali kekuasaan dalam ranah teknologi, ekonomi, dan informasi. Kita membutuhkan keberanian moral seperti yang pernah ditunjukkan Bung Karno. Dunia kini memerlukan regulasi baru agar teknologi tidak menjadi alat penindasan bentuk baru,” ungkap Megawati.
Pedoman Etik
Ia juga mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat menjadi pedoman etik dunia digital. Pancasila, menurutnya, adalah falsafah universal yang menyeimbangkan antara dunia materia dan spiritual, antara hak individu dan tanggung jawab sosial, antara kedaulatan nasional dan solidaritas antarbangsa.
Megawati menegaskan bahwa kemajuan teknologi harus dibingkai dalam etika kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat menjadi pedoman etik global.
“Dunia yang tidak diatur oleh algoritma tanpa hati nurani, tetapi oleh nilai-nilai Pancasila yang memuliakan kehidupan,” ujarnya.
Di tengah situasi itu, Megawati melontarkan gagasan pembentukan “KAA Plus”. Forum ini diharapkan menjadi wadah permanen bagi negara-negara Global South untuk membangun masa depan bersama, yang bebas dari ketimpangan, hegemoni, dan ketidakadilan struktural global.
Gagasan “KAA Plus” ini menegaskan semangat Bandung 1955 dalam konteks abad ke-21. Bila tujuh dekade lalu KAA mempersatukan negara-negara yang baru merdeka melawan kolonialisme, kini Megawati menyerukan solidaritas baru untuk menghadapi ketimpangan ekonomi, hegemoni teknologi, dan dominasi geopolitik.
“Jika pada 1955 Bung Karno dan para pemimpin dunia ketiga mampu mengguncang dunia tatanan kolonial, di abad ke-21 kita juga mampu mengguncang tatanan digital dan ekonomi yang tidak adil,” tegas Megawati.
Megawati menilai, diplomasi internasional ke depan tidak bisa lagi berlandaskan kekuatan militer atau dominasi ekonomi semata. Dunia memerlukan moralitas peradaban, sebagaimana pernah diserukan Presiden Sukarno dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1960 berjudul “To Build the World Anew“.
“Dunia yang baru tidak boleh dibangun di atas kekuasaan dan ketakutan, tetapi di atas kesetaraan, solidaritas, dan kemanusiaan. Dari Blitar ini, mari kita bangun dunia baru yang tidak tunduk pada mesin dan modal, tetapi menempatkan manusia sebagai pusat peradaban,” tegas Megawati.
Ziarah Makam Bung Karno
Seusai jadi pembicara kunci di seminar internasional, Megawati melanjutkan kegiatan dengan berziarah ke makam Sukarno yang terletak sekitar 100 meter dari Perpustakaan Bung Karno. Dalam suasana khusyuk, Megawati menaburkan bunga di pusara sang ayah serta di makam kakek dan neneknya.
Di sekitar kompleks makam tampak berderet karangan bunga dari 32 delegasi negara dan akademisi peserta peringatan 70 tahun KAA. Di antara karangan bunga itu tertulis nama negara seperti Brasil, Jerman, Rusia, India, dan China.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, peringatan 70 tahun KAA ini mengingatkan kembali bagaimana momentum itu meneguhkan kepemimpinan Indonesia di panggung dunia.
Menurut Hasto, dari KAA itulah peradaban dunia mulai dibangun dengan semangat baru. Indonesia, khususnya, Bung Karno, memiliki peran besar dalam menanamkan nilai kemanusiaan dan Pancasila sebagai life line tata dunia baru yang bebas dari imperialisme dan kolonialisme.
Hasto menegaskan bahwa KAA merupakan gerakan dekolonisasi pertama diikuti 29 negara dan mampu mengubah sejarah dunia. Oleh karena itu, Indonesia perlu bangga atas peran tersebut dan meneladani semangat Dasasila Bandung sebagai dasar kepemimpinan Indonesia bagi dunia.
“Dari Blitar, kita kobarkan kembali semangat Asia-Afrika sebagai gerakan dekolonisasi yang pertama. Gerakan ini menginspirasi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin,” ujar Hasto.
Hasto juga menyampaikan pesan Megawati kepada generasi muda agar memahami geopolitik serta meneladani perjuangan para pemimpin bangsa yang berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan kesetaraan.
“Pesan Ibu Megawati Soekarnoputri ke anak-anak muda agar memahami geopolitik, memahami seluruh spirit tentang perjuangan para pemimpin bangsa yang tidak mudah berjuang untuk nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan kesetaraan,” kata Hasto.
Selain menghadiri seminar, Megawati juga melakukan konsolidasi internal PDI Perjuangan bersama para kepala daerah kader partai di Jawa Timur. Pertemuan itu menekankan pentingnya kepala daerah memahami nilai perjuangan Bung Karno dan menerapkannya dalam kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat.
“Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini,” ucap Hasto.
Berjarak sekitar 5.000 kilometer dari Blitar, Semangat Bandung pun kembali terungkap dalam pertemuan bilateral antara Prabowo Subianto dan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung di sela-sela KTT APEC di Hwabaek International Convention Center (HICO), Kota Gyeongju, Korsel, Sabtu (1/11/2025).
Saat memberi pidato pengantar di pertemuan tersebut, Presiden Lee mengaitkan hubungan erat Korsel-Indonesia dengan nilai-nilai historis yang lahir dari Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Nilai-nilai itu menjadi pilar penting dalam kebijakan luar negeri Korea Selatan.
“Kita semua telah belajar dari sejarah bahwa Indonesia telah memimpin pembentukan Semangat Bandung. Dan, jika kita melihat elemen-elemen kunci dari Semangat Bandung, itu adalah keseimbangan, otonomi strategis, kerja sama, dan pragmatisme. Dan, nilai-nilai ini merupakan pilar yang sangat kuat bagi kebijakan luar negeri Korea,” tutur Presiden Lee.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi atas kemitraan erat yang telah terjalin di antara kedua negara. ()
Sumber tulisan: Kompas, Minggu, 2 November 2025