SURABAYA – Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Surabaya Dyah Katarina mengatakan, pembahasan Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sudah tuntas. Rencananya, Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR akan melaporkan hasil pembahasan ke badan musyawarah (banmus), Senin (29/8/2016) depan.
Menurut Dyah, sebagian besar anggota pansus bersepakat, raperda dikembalikan ke Pemerintah Kota Surabaya. Alasannya, karena aturan sebelumnya, yakni Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Terbatas Merokok (KTM) dan Kawasan Tanpa rokok (KTR), pelaksanaannya belum efektif.
“Delapan anggota pansus menghendaki raperda dikembalikan. Sedang tiga orang tetap menerima,” ungkap Dyah Katarina, kemarin.
Sesuai keputusan bersama antara Kementerian Kesehatan dan Kemendagri, terang Dyah, daerah juga diberi kesempatan untuk menambah area bebas rokok.
“Yang kemarin saja belum efektif, kok mau ditambah dengan poin–poin lainnya. Lebih baik perda yang kemarin dibuat lebih efektif,” ujar Sekretaris Pansus Raperda KTR ini.
Dalam Raperda KTR, sebut Dyah, juga ada beberapa poin baru yang diusulkan. Dia menilai, beberapa poin anyar itu sulit diterapkan di Kota Surabaya.
Misalnya, penerapan KTR di tujuh lokasi yakni tempat kegiatan anak-anak, kawasan kantor, tempat terbuka publik, angkutan umum, rumah sakit, kawasan sekolah, dan tempat ibadah.
“Saya tidak yakin kalau KTR itu bisa diterapkan di tujuh lokasi itu. Khawatirnya kalau semisal dibuat, dan gagal diterapkan kan ya percuma,” ucap dia.
Dyah menambahkan, raperda ini di antaranya juga mengatur perkantoran maupun ruang terbuka seperti Kebun Binatang Surabaya (KBS), harus memiliki ruang merokok minimal lima meter dari pintu masuk area. Bagi yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp 250.000.
“Misalkan di KBS, pengunjung sudah masuk jauh ke dalam, apa ya mungkin kembali ke pintu masuk (untuk merokok)?” katanya.
Soal sanksi denda, dia menilai maksudnya memang baik agar para perokok jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya merokok di tempat umum. Hanya, sebut Dyah, tidak semua orang mampu membayar denda ini.
“Untuk menghidupi keluarganya saja, kadang sudah pas – pasan,” tuturnya.
Sebelumnya, anggota pansus yang juga Ketua Komisi D DPRD Surabaya Agustin Poliana menyatakan, aturan lama yakni Perda Nomor 5 Tahun 2008 tidak hanya belum efektif. Tapi faktor pengawasan juga masih lemah.
Sebab, selama ini banyak pelanggaran terjadi, namun faktanya hampir tak ada penindakan. “Jadi perda yang kemarin itu mandul,” ungkap Agustin.
Dalam membuat perda, tambah Agustin, selain efektifitasnya, yang harus dipikirkan adalah dampak negatif lainnya.
Terpisah, Ketua Pansus Raperda KTR Anugrah Ariyadi mengatakan, hasil pembahasan di pansus masih akan dirapatkan dalam banmus. “Masih ada beberapa kemungkinan apakah itu ditolak, diterima dengan catatan, atau diterima,” jelas Anugrah. (goek)