Beberapa waktu lalu, menjelang hari buku nasional, 17 Mei, publik perbukuan dikejutkan dengan gonjang-ganjing masalah International Standard Book Number (ISBN). Pasalnya, International ISBN Agency yang berpusat di London mengeluarkan peringatan pada Pepustakaan Nasional RI, sebagai pengelola ISBN nasional, mengenai ketidakwajaran pengajuan ISBN di Indonesia.
Teguran itu dilakukan sebab quota nomor ISBN hampir mencapai batas maksimum dan terancam kehabisan jatah terbit. Berdasarkan data Perpusnas tahun 2022, sejak 2018 hingga awal 2022, Indonesia tercatat telah menerbitkan buku ber-ISBN sebanyak 623.000 judul buku. Jumlah tersebut telah melebihi setengah dari jatah alokasi nomor ISBN yang diberikan ISBN Agency sejak 2018, yakni 1 juta nomor. Padahal diperkirkan kuota ISBN suatu negara akan habis dalam rentang satu dekade, bahkan lebih.
Bayangkan saja, baru berjalan 4 tahun saja, penggunaan ISBN telah membengkak lebih dari 50% dari jatah. Artinya, kini tersisa 377.000 nomor lagi. Dan PNRI harus ‘berhemat’ agar kuota yang tersisa bisa habis dalam enam tahun ke depan, kecuali jika ingin mendapatkan ‘penalti’ berupa penundaan pemberian jatah ISBN.
Beberapa orang menganggap membengkaknya jumlah buku yang terbit merupakan sebuah “prestasi”. Artinya, minat baca masyarakat meningkat. Namun apakah betul demikian adanya? Mari lihat laporan PISA (Program for International Student Assesment) pada tahun 2019 yang dirilis OECD (Organization for Economic Co-operation and Development). Laporan tersebut menyebutkan, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara berdasarkan peringkat literasi. Bahkan jika standard literasi UNESCO boleh dipakai untuk melengkapi hasil PISA tersebut, masyarakat dengan minat baca yang baik per orang haruslah membaca 3 buku baru setiap tahunnya, Indonesia cuma mencatat 0,09 buku baru per orang per tahun. Sungguh tidak sebandingkan dengan membengkaknya angka ISBN di atas.
BACA JUGA: Buya Syafii Maarif Berpulang, Megawati dan Keluarga Besar PDI Perjuangan Sangat Berduka
Artinya, banyak buku ber-ISBN beredar, namun sama sekali tidak mampu mendorong masyarakat untuk keranjingan membaca buku. Bisa karena terlanjur terlalu nyaman membaca quote-quote pendek yang berseliweran di media sosial seperti shorts Youtube, tiktok atau status WA. Atau bisa juga karena buku ber-ISBN yang beredar sama sekali tidak menarik. Tidak enak dibaca dan sama sekali tidak memberikan pencerahan.
Untuk perkara yang terakhir itu, mau tak mau kita bisa menuding keterlibatan para guru dan vanity publishing (penerbit berbayar). Harus diakui, kehadiran penerbit-penerbit vanity menjadi surga bagi pihak-pihak yang membutuhkan publikasi buku sebagai bagian kenaikan pangkat atau jabatan fungsional, terutama para guru. Terlebih lagi setelah Ikatan Guru Indonesia (IGI) mencanangkan program “Satu Guru Satu Buku,” banyak pelatihan menulis singkat diadakan penerbit berbayar di berbagai daerah dengan target para guru agar menerbitkan bukunya sendiri dan ber-ISBN.
Bagi para guru, penerbit berbayar itu adalah sebuah oase. Apalagi ada embel-ember ber-ISBN. Sebab menerbitkan buku ber-ISBN memiliki kredit poin yang cukup tinggi untuk penunjang kenaikan pangkat. Daripada menulis artikel populer di media massa beroplah besar yang meski berhonor lumayan, seleksinya ketat. Dengan demikian, bekerjasama dengan penerbit berbayar jauh lebih lempang.
Bayangkan, jika 20% saja dari total guru di Indonesia menulis satu buku setiap tahun, maka dibutuhkan hampir puluhan, bahkan ratusan ribu ISBN. Kebutuhan ISBN semakin membludak jika intensitas produksi buku para guru naik ke angka 50%. Persolannya, apakah buku yang terbit berkualitas dan layak konsumsi? Sebab sebagian besar guru (yang sebagian besar kemampuan menulisnya di bawah rata-rata) menerbitkan buku bukan untuk mentrasformasi pengetahuan dengan tulisan-tulisan yang bermutu, kalimat yang enak dibaca, melainkan hanya untuk menambah kredit poin untuk kenaikan pangkat. Tidak lebih.
BACA JUGA: Meriahkan Festival Kopi Tanah Air, Banteng Sumenep Perkenalkan Kopi Prancak
Sedangkan bagi penerbit sendiri, antuasiasme para guru itu jelas merupakan ceruk bisnis yang menjanjikan. Saya pernah mengikuti pelatihan menulis buku yang diadakan sebuah penerbit dengan mendatangkan narasumber seorang penulis buku ber-ISBN. Di akhir pelatihan, para peserta didorong untuk menulis buku sendiri dengan tema apa saja dan dibantu mengurus ISBN-nya. Dengan biaya sebesar Rp.400.000,- para peserta bisa memiliki buku ber-ISBN dan mendapatkan 4 eksemplar buku. Bahkan ada penerbit yang berani menawarkan angka Rp. 300.000,- untuk seluruh proses penerbitan dengan tambahan biaya, jika menambah oplah cetakan. Hampir sebagian besar peserta rela merogoh koceknya untuk menerbitkan buku. Hasilnya? Ketika buku ber-ISBN itu terbit (dengan penggarapan sampul dan layout ala kadarnya) beberapa guru malah merasa malu sendiri, karena merasa isinya tidak layak konsumsi.
Perkara di atas belum ditambah dengan buku terbitan mandiri para dosen serta maraknya lomba-lomba penulisan berbayar, baik lomba puisi, cerpen, maupuan esai yang diadakan oleh banyak penerbit untuk menggali ceruk pasar lainnya dengam embel-embel, buku yang terbit adalah buku ber-ISBN.
Seolah-olah buku ber-ISBN merupakan jaminan mutu bahwa buku tersebut berkualitas. Bahkan salah seorang penulis perempuan pernah mendramatisir tentang hubungan ISBN dengan kualitas. Begini katanya, “Ciri utama yang bisa diterima bagi siapa saja yang mengaku penyair adalah buku yang hak intelektualitasnya direkam juga alam bentuk deretan nomor ISBN. Coba cek siapa saja yang menyebut dirinya penyair? Apa karyanya? Terbit dalam bentuk apa? Jika dalam format buku, berapa nomor ISBN-nya? Jika pertanyaan (terakhir) itu tak bisa dijawab, ia hanya pendongeng”.
Padahal tiga belas digit nomor ISBN itu tidak bermakna apa-apa dalam persoalan mutu sebuah buku. Apalagi pengakuan internasional. ISBN hanya bermakna dalam rantai pasok industri. Persis seperti barcode di bungkus chiki atau es krim. Ketika pertama kali menciptakannya di tahun 1960-an, W.H. Smith, seorang distributor dan pemilik toko buku itu, hanya ingin beralih ke sistem komputer untuk mengelola stok bukunya. Temuannya itu baru dipakai secara luas pertama kali pada tahun 1972. Jadi buku-buku terbitan sebelum 1972 sama sekali tidak memiliki ISBN. Termasuk tentu saja buku awal Chairil Anwar atau buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Apakah lantas karya mereka tidak berkualitas karena tidak ada ISBN-nya? Tentu tidak bukan?
Karena itu, di tengah makin menipisnya kuota ISBN yang dimiliki PNRI, ada baiknya para pegiat literasi seperti penerbit berbayar, komunitas guru/dosen dan Kementerian Pendidikan untuk duduk bersama membicarakan bagaimana meningkatkan mutu buku yang ber-ISBN yang hendak diterbitan. Jika memang yang dikejar bukan perkara kuantitas (seberapa banyak guru yang menerbitkan buku) melainkan soal kualitas, maka penting dilakukan proses penerbitan yang lebih selektif.
Kita semua mahfum, bahwa guru adalah pendidik, bukan penulis. Para guru menempa diri mereka untuk memberikan pengajaran di muka kelas, bukan beretorika di hadapan kertas, atau di rubrik opini di media-media massa. Tidak banyak guru yang bisa menulis. Program Satu Guru Satu Buku mestinya bisa dikaji ulang relevansinya terutama terhadap mutu perbukuan kita. Kemahiran menulis tidak bisa didapat hanya dengan sekali dua mengikuti pelatihan singkat soal menulis, tapi tempaan bertahun-tahun. Jika keadaan seperti ini dipahami bersama oleh para guru, niscaya keinginan menerbitkan buku bukan lagi sekedar mengejar ISBN dan angka kredit semata, melainkan menaikkan level ke soal teknik menulis untuk meningkatkan mutu buku-bukunya.
Tentu saja hal tersebut butuh proses yang panjang. Namun hasilnya akan memuaskan. Bahkan meski buku tak ber-ISBN sekali pun, tidak menutup kemungkinan jika isi buku tersebut berkualitas. Beberapa penerbit mayor mau menerbitkannya. Tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Malah dibayar dengan royalti.
Daripada buku melimpah namun tidak pernah dibaca, bukankah itu artinya program literasi yang dicanangkan pemerintah masih jalan di tempat?
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS