HALALBIHALAL sebagai tradisi maaf memaafkan muslim di Indonesia pada momen Hari Raya Idul Fitri atau lebaran, telah berkembang sejak sekian lama.
Tradisi tersebut biasa dilaksanakan oleh sekumpulan orang dalam satu ikatan kelompok atau komunitas maupun kewilayahan. Tradisi halalbihal kiranya tidak ditemukan dalam masyarakat muslim Arab.
Halalbihalal atau halal bihalal? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penulisan yang benar tanpa menggunakan spasi atau pemenggalan kata, yakni: Halalbihalal.
Adapun maknanya, dalam KBBI, yakni hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat seperti auditorium, aula, dan sebagainya, oleh sekelompok orang.
Berbagai catatan sejarah menyebutkan, halalbihalal sebagai silaturahmi, saling memaafkan secara massal, mulai dilaksanakan sejak republik ini masih berusia muda.
Alkisah, pada pertengahan bulan Ramadan Tahun 1948, Bung Karno gundah tak terkira seiring ancaman perpecahan bangsa dan negara. Tokoh-tokoh politik dan bangsa, dihadapkan pada silang pendapat yang meruncing.
Menarik benang merah kesejarahan, sejumlah pemberontakan terjadi pada kisaran tahun tersebut.
Pertama, pemberontakan PKI di Madiun pada September sampai Desember 1948 yang dipimpin Amir Syarifudin dan Muso. Kedua, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 yang dipimpin Kartosuwiryo.
Galau menghinggapi Soekarno beralasan. Baginya, Muso dan Kartosuwiryo tidak sekadar teman kos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Lebih dari itu, keduanya adalah sosok sahabat.
Dalam kegundahannya, Presiden Soekarno mengundang KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara. Sang kiai diminta saran dan pendapatnya untuk mengatasi situasi politik yang sedang tidak baik-baik saja.
Kiai Wahab kemudian menyarankan Bung Karno untuk menggelar silaturahmi. Apalagi menjelang Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahmi.
“Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” kata Bung Karno seperti dilansir dari nuonline.com.
“Itu gampang,” sahut Kiai Wahab.
Sang kiai melanjutkan, para elit politik tidak mau bersatu karena saling menyalahkan. Sementara perbuatan saling menyalahkan, lanjut dia, termasuk haram alias dosa.
“Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah.
Dari saran Kiai Wahab Chasbullah tersebut, Bung Karno mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara pada Hari Raya Idul Fitri. Adapun agendanya adalah silaturahmi yang diistilahkan dengan halalbihalal.
Sejak itu, acara halalbihalal digelar oleh instansi-instansi pemerintah yang kemudian diikuti kelompok-kelompok masyarakat dalam merayakan lebaran. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS