JAKARTA – Kontroversi tradisi tumpengan dan sedekah bumi dari sudut pandang Islam selalu menarik untuk dibahas. Terutama bagi siapapun yang baru belajar agama.
Gus Muwafiq menjelaskan hal ini dengan gamblang dan mudah dimengerti. Dia tak ingin lagi ada pembubaran paksa dan ribut-ribut mengenai hal ini.
“Islam itu tidak berbicara memandang sedekah bumi, lebih kepada apa yang ada dalam sedekah bumi dan tumpengan,” ujarnya saat mengisi program Inspirasi Ramadhan Edisi Buka Puasa bersama Host Nico Siahaan di akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Selasa (5/4/2022) petang.
“Tradisi tumpengan itu adalah upaya nenek moyang kita agar bisa makan bareng-bareng, makanya nasi ini ditumpuk, ngumpul bareng makan bareng, ayam juga cuma satu, ingkung terus nanti ditarik bareng-bareng,” imbuhnya.
Riuh rendah pembahasan tradisi dan budaya lokal yang dihadapkan dengan syariat islam itu juga dijawab dengan candaan. Seolah hal tersebut sebenarnya tidak patut diperdebatkan, namun hanya perlu dipahami dan dihayati saja.
“kalau zakat budayanya juga dipakai, masyarakat sana (arab) zakatnya gandum karena budaya makannya gandum, kalo disini zakatnya beras karena budaya makannya nasi, nah ini bedanya,” ungkapnya.
“Hanya masalahnya, ada orang-orang yg tidak mau memahami ini karena dia punya merk yang lain lagi, sebenernya sih gitu-gitu aja, itu kan problem market, manusiawi,” candanya.
Sama halnya dengan sedekah laut. Konteksnya, kata Gus Muwafiq, adalah wujud syukur kepada lautan. Para nelayan ingin bersyukur kepada makhluk-makhluk yang ada di dalam laut seperti ikan, lumba-lumba, terumbu karang dan sebagainya.
“Cuma, yang nggak tahu, dikira kasih makan ratu kidul atau apa. Itu kasih makan ikan saja yang dilaut itu. Masa dikasih makan pampers, sampah, selama ini kan kita kasih makan laut bungkus plastik, sampah, bungkus pampers. Maksud saya, yang tidak pernah bergerak di wilayah itu nggak usah ngomong, kalau anda mau ngomong harus berada disitu, agar tahu,” tuturnya.
Pangkal masalah ini adalah soal pemahaman dan kontekstualisasi dengan zaman yang terus bergerak.
Sehingga tidak bisa ada hal-hal yang dipaksakan dari zaman Rasulullah SAW, utamanya terkait budaya Arab, lalu ditransfer begitu saja di Indonesia, atau belaham bumi lain. Khususnya para penganut agama Islam.
“Saya dulu belajar tentang ilmu telepati, puasa berhari-hari, tapi sekarang saya juga harus tahu diri, karena dengan Rp. 15.000 kita pergi ke konter bisa beli kuota, ini zaman berubah,” tutupnya. (gesuri)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS