SURABAYA – DPP PDI Perjuangan mulai Jumat (14/10/2022) hari ini melakukan psikotes terhadap 26 ribu lebih bakal calon anggota legislatif (caleg) yang akan diajukan dalam Pemilu 2024. Psikotes dilakukan secara online hingga 5 November mendatang.
“Ketua DPP Bidang Ideologi, Pak Djarot Saiful Hidayat akan membuka pelaksanaan psikotes hari pertama siang ini,” kata Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Surabaya.
Dia mengatakan menyangkut semangat antikorupsi, pihaknya melakukan berbagai langkah, mulai mengeluarkan berbagai aturan mengenai sanksi, hingga langkah-langkah perekrutan kader. Salah satu metode sains yang digunakan adalah psikotes.
Baca juga: Sapa Warga Surabaya, Besok Hasto Gowes Bareng Kada dari PDI Perjuangan se-Jatim
Pihaknya pernah bertemu dengan para ahli dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). PDI Perjuangan mempertanyakan apakah psikotes mampu mengetahui dan membaca indikasi apakah seorang kader yang akan ditugaskan, baik di parlemen maupun eksekutif, punya kecenderungan korupsi.
Ternyata para ahli itu menyebut bahwa psikotes belum bisa memberi jawaban atas hal itu. Namun psikotes bisa mencapai hingga mengetahui sejauh mana komitmen seseorang terhadap nilai-nilai, termasuk nilai antikorupsi.
Karena itu, PDI Perjuangan tetap menggunakan metode psikotes dan yang kali ini menandai 10 tahun PDIP menggunakannya.

“Mulai 14 Oktober, sekitar 26 ribu caleg akan psikotes. Kami tambahkan 3 kriteria kader. Apakah dia pejuang, apakah dia punya kapabilitas menjalankan fungsi eksekutif-legislatif, atau justru pragmatismenya yang menonjol,” kata Hasto.
Dengan kriteria baru ini, lanjut Hasto, akan bisa terbaca apakah seseorang kader itu pas untuk ditugaskan di struktur partai, atau diajukan di fungsi eksekutif dan legislatif, serta tugas strategis lainnya.
“Tentu kalau hasil psikotes itu menunjukkan seseorang itu cenderung pragmatis, maka partai akan harus berhati-hati. Kalau kecenderungan pragmatis kuat, dia berpotensi jadi pedagang politik,” sebutnya.
Menurut Hasto, soal korupsi tak mudah. PDI Perjuangan bukan hanya membuat aturan sanksi pemecatan, namun hingga tak mencalonkan seseorang yang terkait dugaan korupsi.
Masalahnya, jelas Hasto, seringkali pilihan jernih demikian tak diganjar rakyat dengan tingkat pemilihan saat pilkada.
Dia mencontohkan Pilkada di Tangerang Selatan dan Gorontalo, PDI Perjuangan memilih untuk tak mencalonkan sosok yang dianggap terkait korupsi ataupun punya persoalan hukum. Namun justru kalah di pilkada.
“Meskipun tidak memberikan efek elektoral, PDI Perjuangan tetap tidak bergemimg dan tidak mencalonkan yang berstatus tersangka korupsi. Ini salah satu akar masalahnya adalah sistem pemilihan yang liberal,” tandas Hasto. (goek)











