Door to door tawarkan bahan pakaian, hingga menjual cincin akik.
SEBAGAIMANA jamak berlaku di negeri ini, seorang suami adalah pejuang rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari rumah tangganya. Begitu pula Sukarno.
Perjuangan Bung Karno memerdekakan Indonesia dari cengkeraman penjajah, berdampak buruk tak cuma bagi dirinya. Keluarganya pun ikut menanggung risiko.
Melansir perpusnas.go.id, pada 28 Desember 1933 Gubernur Jenderal, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge, mengeluarkan keputusan pengasingan Sukarno ke Ende, Pulau Flores.
Diberangkatkan menuju tanah pembuangan, Sukarno tak sendiri. Bersama keluarganya. Sang istri, Inggit Garnasih; ibu mertua, Amsi; dan kedua anak angkatnya, Ratna Juami dan Kartika. Mereka dilayar dari Surabaya dengan kapal barang KM Van Riebeeck.
Di Ende, tepatnya di Kampung Ambugaga, Kotaraja, Sukarno beserta keluarga menghuni rumah kosong milik Haji Abdullah Ambuwaru. Rumah itu ditempati selama empat tahun masa pengasingan, dari 1934 sampai 1938.
Sales Bahan Pakaian
Menjadi pesakitan di tanah buangan tak menggugurkan kewajiban bagi dirinya untuk mengais rezeki buat keluarga.
Dalam buku otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ditulis Cindy Adams, Edisi Revisi diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007, Sukarno mengisahkan bagaimana dia berupaya agar dapur rumahnya tetap mengepul.
Berita terkait:
Disingkan di Ende, Bung Karno Tak Jera, Sempat-sempatnya Mengorganisir Rakyat
Bung Karno Renungkan Pancasila di Ende, Memidatokannya di Sidang BPUPKI
Sukarno yang saat pertama kali menginjak Ende tercatat berusia 32 tahun, mendapatkan penghasilan dengan menjadi sales bahan pakaian dari toko tekstil di Bandung.
“Dengan berkeliling dari rumah ke rumah membawa contoh pakaian, aku mencoba menawarkan: Nyonya, harga ini lebih murah dari toko-toko di sini. Apa nyonya mau pesan lewat kami,” kenang Sukarno.
Uang pemesanan pun dikirim Sukarno melalui wesel pos ke toko ketika ada order. Barang datang setelah sekian bulan. Sukarno mendapat komisi 10 persen dari tiap barang yang laku.
Jual Cincin Akik
Suatu ketika Sukarno tak punya uang. Ia pun menjual cincin akik pemberian temannya semasa tinggal di Bandung.
Batu akik itu rupanya unik. Di dalam batu terdapat rongga berisi cairan hitam yang bisa bergerak manakala cincin digoyang-goyangkan.
Cincin akik itu dijual Sukarno seharga 150 rupiah kepada seorang saudagar kopra.
Berbagi Donasi ke Digul
Solidaritas ditunjukkan kawan-kawan Sukarno di Jawa. Mereka terkadang mengirimkan bahan makanan atau uang.
Namun, Sukarno malah meneruskan sebagian besar donasi yang ia terima kepada para pejuang di pengasingan Digul, Papua.
“Sekalipun kami memiliki uang yang sangat sedikit, kami mengaturnya secermat mungkin,” kata Sukarno.
Apalagi, diakuinya, kebutuhan untuk makan dan minumnya terbilang sederhana. Ia tidak makan daging dari hewan berkaki empat. Juga tidak mengkonsumsi minuman luar negeri.
Untuk makanan, Sukarno memilih menu nasi, sayur, buah-buahan, daging ayam, dan telur. Terkadang ikan asin.
“Sayuran berasal dari kebun (sendiri), ikan dari kawan-kawanku nelayan,” katanya. (hs)
foto: Bung Karno dan keluarga di ende.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS