Kesenian jadi sarana Bung Karno agar tetap terhubung dengan rakyat. Mengajarkan lagu hingga membentuk kelompok sandiwara (tonil).
PENGASINGAN atau penjara terbuka tak membuat Bung Karno jera. Aktivitas politiknya mendidik massa untuk kemerdekaan bangsa, tak kendur sedikitpun.
Di Ende, kota kecil di Pulau Flores, Bung Karno tak dilepas bebas begitu saja oleh pemerintah kolonial Belanda. Menjalani pembuangan Ende sejak 1934 sampai 1938, Bung Karno mengidentifikasi lingkungannya.
Ia bahkan mengetahui dengan pasti jumlah polisi Belanda di tempat tersebut.
“Di Ende ada 8 polisi,” kata Bung Karno dalam buku otobiografinya ditulis Cindy Adams, Edisi Revisi, terbitan Yayasan Bung Karno, Tahun 2007.
Para polisi ini ditugaskan untuk membuntuti dan mengawasi setiap kegiatan Bung Karno dari jarak 60 meter.
Kondisi diperburuk dengan awal kedatangan Bung Karno di Ende yang dilakukan secara diam-diam. Praktis, rakyat kecil tidak mengetahui kedatangannya. Sementara masyarakat kelas atas, beserta keluarga mereka, oleh Belanda dilarang bergaul dengan Bung Karno.
“Baiklah! Kalau keadaannya demikian, aku akan bekerja tanpa meminta bantuan orang-orang terpelajar yang picik ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling bawah.”
Bung Karno pun kemudian bergaul dengan pemetik kelapa, sopir mobil, dan para pembantu yang tidak bekerja. “Inilah kawan-kawanku.”
Sukarno juga berkenalan dengan seorang nelayan. Namanya: Kota. Dari perkenalan itu, Sukarno menyampaikan jika tidak ada larangan bagi Kota untuk bertamu ke rumah Sukarno. Begitu pun sebaliknya.
Kota pun bertamu. “Dia membawa Darham, tukang jahit. Setelah itu aku berkunjung ke tempat mereka. Dan begitulah awalnya.”
Mengajari Para Pemuda Lagu Indonesia Raya
Negara Indonesia belumlah ada ketika itu. Tapi Indonesia sebagai sebuah bangsa, telah dideklarasikan para pemuda melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Lagu Indonesia Raya diciptakan WR Supratman pada 1924, berkumandang untuk pertama kalinya pada peristiwa Sumpah Pemuda.
Berita terkait: Bung Karno Renungkan Pancasila di Ende, Memidatokannya di Sidang BPUPKI
Oleh Bung Karno, lagu ini ia ajarkan kepada para pemuda, di suatu tempat di luar rumah pengasingannya. Untuk mengelabuhi polisi, Sukarno beralasan piknik bersama para pemuda.
“Bukan karena aku kuatir mendapat kesulitan. Tetapi karena aku ingin melindungi anak-anak ini,” kata Sukarno.
Namun, acara itu bocor.
“Aku dipanggil ke kantor polisi dan didenda 5 rupiah atau senilai dua dolar.”
Membentuk Kelompok Sandiwara
Sukarno pun mulai meningkatkan tahapan pengorganisirannya. Masih melalui jalur kesenian. Dari semula mengenalkan keindonesiaan, ditingkatkan dengan mengorganisasikan rakyat.
“Aku mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu, yang namanya diambil dari nama danau tiga warna di Flores.”
Mengorganisir rakyat bukan barang mudah. Bahasa menjadi kendala. Bung Karno menunjuk Ali Pambe, seorang montir mobil, selaku penerjemah bahasa Ende ke bahasa Indonesia. Meski, ali yang buta huruf itu masih belum fasih berbahasa Indonesia.
Di kelompok ini, Bung Karno menjadi sutradara. Bahkan menjadi pelatih peran untuk para pemain peran yang berasal dari berbagai latar profesi.
Baca juga: Di Rumah Pengasingan Ende, Megawati Kukuhkan dan Saksikan Kesepakatan Jaket Sukarno
Sukarno juga turut menjual karcis pertunjukan saat kelompok ini sudah go public dan menggelar pertunjukan dengan menyewa gedung.
Setiap kali usai pertunjukan, Bung Karno mengajak seluruh pemain untuk makan bersama di rumahnya.
“Ya, begitulah aku bekerja keras, tidak hanya untuk menggelar pertunjukan, tetapi agar para pemain tetap gembira. Ini sangat besar artinya buatku.”
Empat tahun menjalani pengasingan, Bung Karno berhasil membuat 12 naskah drama sandiwara atau tonil.
Naskah-naskah Sukarno berisikan pesan terselubung hal keindonesiaan. Karya pertamanya yang berjudul, Dokter Setan misalnya. Karya diilhami dari novel Frankeinstein itu berkisah tentang proses menghidupkan mayat dengan transplantasi hati dari orang yang hidup.
“Bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup kembali,” kata Sukarno menjelaskan pesan moral tersembunyi dalam kisah tonil itu. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS