SURABAYA – Diskusi lintas generasi di Rumah Gusdurian, Jalan Mawar Surabaya, Rabu (8/12/2021) sore berlangsung gayeng. Topik diskusi, seputar pembuatan film Herman dan Bimo.
Obrolan gayeng antara aktivis 98 dan generasi milenial itu dimulai beberapa saat setelah pemutaran film Herman dan Bimo.
Selama diskusi, anak-anak muda rata-rata bergabung dalam organisasi pergerakan seperti PMII, GMNI, PMKRI, LAMRI, GMKI, dan yang lainnya itu nampak antusias.
Apalagi, acara ‘Diskusi dan Screening Film Herman dan Bimo’ di Rumah Gusdurian itu dihadiri pegiat literasi dan penulis buku, Diana Amaliyah Verawatiningsih.
Di sela diskusi, Diana Amaliyah yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Timur ini mengajak generasi milenial membantu gerakan melawan lupa dan memperluas informasi kepada publik mengenai adanya mahasiswa aktivis 98 yang dinyatakan hilang hingga sekarang.
Salah satu cara yang mudah, sebut legislator yang lekat dengan sapaan Diana Sasa ini, dengan memviralkan film Herman dan Bimo lewat berbagai platform digital, atau media sosial (medsos) yang menjadi dunianya anak zaman sekarang.
“Kita membutuhkan kesediaan dan kesadaran kalangan milenial untuk ikut andil menyebarkan film ini sebagai bentuk perluasan informasi tentang kasus penculikan mahasiswa, hingga penghilangan paksa beberapa kawan yang hingga sekarang tiada kejelasan penanganan kasusnya itu, melalui medium media sosial,” beber Sasa, Kamis.
Aktivis PMII saat masih kuliah di Unesa Surabaya ini menyebut, ada gap informasi antara peristiwa sejarah era reformasi dengan anak muda zaman sekarang.
“Mereka mungkin tahu peristiwanya, tapi tidak paham persoalannya. Atau bahkan banyak yang tidak tahu sama sekali kalau ada mahasiswa yang hilang dan hingga kini tidak jelas nasibnya itu,” sebutnya.
Dia memahami, eranya memang berbeda, sehingga jalur penyerapan informasi juga sudah jauh berbeda. Menurutnya, anak muda sekarang dekat dengan gadget, teknologi, dan informasi yang serba cepat.
“Maka jika ingin memasukkan informasi masa lalu agar mereka tidak ahistori, ya harus menggunakan medium yang dekat dengan dunia mereka,” tandasnya.
Dalam diskusi itu, Diana Sasa membeberkan pengalaman yang tak bisa dia lupakan saat berencana membuat buku tentang Herman beberapa tahun silam.
“Sewaktu saya mewawancara Ibunda Herman ketika beliau masih hidup, saya menyaksikan beliau setiap hari diam duduk di depan pintu rumah. Jika ditanya beliau menjawab ‘Menunggu Herman pulang’. Ini benar-benar memilukan bagi saya. Betapa beratnya dampak psikis orang tua yang kehilangan anaknya,” kenangnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Gusdurian Jawa Timur, Yuska Harimurti saat diskusi. Dia mengatakan setiap generasi punya tanggung jawab untuk meluruskan sejarah.
“Menjadi tanggung jawab kita untuk menyampaikan informasi apa yang telah terjadi agar tidak terulang kembali. Bahwa negara kita juga punya catatan kelam,” ujar Yuska.
Pemutaran film Herman dan Bimo dalam diskusi ini digagas Pusmira (Pusat Studi Informasi Masyarakat Indonesia).
Film ini menceritakan tentang Herman Hendrawan dan Bimo Petrus Anugerah mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang juga aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Keduanya aktif dalam pergerakan menuntut reformasi di rezim orde baru.
Di tengah upayanya menuntut reformasi, kedua aktivis ini dihilangkan paksa dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. (sani/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS