“SEMOGA engkau menjadi Karna yang kedua. Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam Bahasa Jawa, huruf A dibaca O,” kata Bung Karno menirukan ucapan bapaknya, Raden Soekemi seperti dikutip dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia ditulis Cindy Adams.
“Awalan Su, pada kebanyakan nama berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan terbaik. Sukarno, sejak itu, menjadi namaku yang sebenarnya dan satu-satunya.” imbuhnya.
Nama Sukarno diberikan kedua orang tuanya, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai saat Sukarno kanak-kanak. Nama itu untuk menggantikan nama lahirnya, Koesno.
Penggantian nama, bagi sebagian orang Jawa, dipercayai untuk menghilangkan kesialan pada anak. Maklum, masa kecil Sukarno kerap sakit-sakitan.
Nama Sukarno, berasal dari Karna, adalah nama panglima perang dalam cerita pewayangan, Mahabharata.
Panglima Karna lahir dari Kunti, seorang putri cantik yang dibelai sinar cinta Batara Surya atau Dewa Matahari. Bayi Karna pun terlahir dari telinga Kunti, karena Sang Dewa tak ingin membuat malu sang putri yang masih perawan.
Menyandang nama Karna, Sukarno tumbuh sebagai pecinta wayang kulit.
Bagi Bung Karno, kesenian wayang bukan hanya sekadar pelipur lara dari penatnya belajar di bangku sekolahan. Kegemarannya akan wayang kulit membuat Bung Karno khatam dengan cerita-cerita pewayangan.
Kekuatan narasi dan karakter wayang itulah yang kuat, mampu menguatkan Soekarno untuk selalu berpihak kepada yang tertindas.
Kisah-kisah pewayangan itu juga yang menemaninya berjuang bahkan ketika dijebloskan ke Penjara Benceuy, sampai Penjara Sukamiskin.
“Bila aku tak dapat lagi menahan rasa kesepian, kegelapan, dan kekumuhan (di penjara) aku mengajak Gatot –rekan seperjuangan Bung Karno—membuat permainan. Aku berhasil memperoleh buku wayang.”
“Aku minta gatot membuat permainan. Aku berhasil memperoleh buku wayang. Aku minta Gatot membaca buku itu. Aku sudah hapal semua ceritanya. Sejak masih anak-anak aku mengagumi cerita wayang.”
“Sewaktu masih di Mojokerto aku sering menggambar wayang di batu tulisku. Di Surabaya aku begadang sampai pukul 6:00 esok paginya untuk mendengarkan dalang menceritakan kisah-kisah yang terkenal itu.”
“Setelah Gatot dengan tekun membaca buku itu, aku memberi perintah kepadanya. Sekarang letakkan buku itu dan ceritakan kembali dengan suara keras apa yang sudah kau baca,” terang Sukarno.
Makna-makna keberanian dalam cerita pewayangan diterapkan oleh Soekarno dalam bersikap dan melawan penjajah.
Konon, sikap itu juga yang membawa dirinya berani mengorbankan hidupnya untuk berjuang bersama kaum bumiputra agar lepas dari segala bentuk belenggu penjajahan.
Wayang Kulit Warisan Dunia Asal Indonesia
Wayang Kulit diyakini diciptakan oleh Prabu Jayabaya, Raja Kediri pada tahun 861 Saka (berdasarkan sengkalan gambaring wayang wolu 939 M) dengan mengambil bentuk-bentuk relief candi.
Keunikan dari kesenian wayang terletak pada jenis-jenisnya yang berbeda di setiap daerah. Setiap daerah menampilkan ciri khasnya masing-masing dengan mencerminkan budaya dari daerah tersebut.
Ketenaran wayang sendiri tidak hanya berlaku di dalam negeri. Juga menyebar ke kancah Internasional. Alhasil UNESCO menetapkan wayang sebagai World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
Pemerintah RI sejak 2018 lalu, menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang Nasional.
penetapan Hari Wayang Nasional dikarenakan wayang telah tumbuh dan berkembang menjadi aset budaya nasional yang memiliki nilai sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. (ftr/hs)
Artikel ditulis oleh Fathir dalam program magang jurnalistik kehumasan di Unit Media DPD PDI Perjuangan Jatim.
Foto: perpusnas.go.id
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS