Transformasi demokrasi kita cenderung mandek di pendulum determinasi figur populer. Arah dukungan politik miskin pertimbangan ideologi. Loyalitas terhadap partai politik cenderung rendah. Sehingga terbentuk realitas politik yang disebut person-over-party.
Meningkatnya populasi generasi milenial terdidik, alih-alih membawa paradoks demokrasi, justru melahirkan populisme dengan imajinasi tradisional, mengandaikan satria piningit. Tetapi memandang sebelah mata institusi demokrasi seperti partai politik.
Populisme yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah retorika politik yang muncul menawarkan figur populer tanpa adanya penyelidikan terhadap basis ideologinya. Ia terkenal karena exposure berbalut citra kemudian digandrungi oleh masyarakat.
Partai politik pun tampak gagap menyikapi kencenderungan populisme. Bukan menerimanya sebagai otokritik, tetapi memanfaatkan secara pragmatis. Memberi panggung bagi figur populis yang minim penghayatan atas ideologi partai. Fenomena ini dapat kita lihat saat Pilkada.
Kader yang bertahun-tahun mengabdi dan menghayati ideologi partai terlempar karena sosok populis. Ada kecenderungan sirkulasi kepemimpinan bertumpu pada selebritas person. Realitas itu menjadi muasal demokrasi kita mandek pada pendulum determinasi figur populer.
Dalam ekosistem politik semacam itu menguat trend pertarungan citra lebih menonjol dibanding percakapan gagasan dan ideologi. Di era revolusi informasi semakin mendapat ruang bermain. Muncul politisi atau insan setengah politisi menyaru artis hiburan, mengikuti selera pasar.
Menuju 2024
Menjelang Pilpres 2024 berseleweran sosok populis yang bukan kader partai memanjat bursa. Sementara media massa sebagai pilar demokrasi memberi ekspos tanpa sentuhan kritik ideologi.
Sebelum terlambat mari ajukan pertanyaan, basis ideologi apa yang mereka pegang dan perjuangkan? Ideologi bukan sebatas gagasan. Melainkan ide yang disusun secara sistematis sebagai keyakinan.
Semua pasti menjawab berpegangan pada Pancasila. Tapi perlu disadari, pengejawantahan Pancasila menghadapi medan pertarungan kepentingan yang kerasnya melebihi laut samudera. Popularitas, gagasan, slogan itu tidak cukup.
Diperlukan sosok dengan penghayatan yang matang. Sehingga ideologi mampu dipegang sebagai keyakinan di tengah badai sekalipun. Kita harus bisa membedakan, pemimpin yang punya ideologi dan pemimpin yang hanya punya gagasan.
Jika dalam menyongsong Pemilu 2024 partai politik terdesak pragmatisme elektoral, populisme mendapat tempat melahirkan person-over-party, maka Pemilu berisiko menghasilkan pemimpin miskin penghayatan ideologi.
Meminjam pertanyaan Burhanuddin Muhtadi, populisme itu madu atau racun demokrasi? Tanpa keyakinan ideologi populisme itu racun. Alih-alih membawa demokrasi lebih baik, justru membuka celah pembajakan oleh demagog.
Kita perlu mempertimbangkan sosok presiden mendatang bukan hanya bisa bekerja. Gunting pita sana-sini. Jabatan presiden bukan pimpinan pelaksana proyek atau manajer perusahaan. Kita harus mempertimbangkan kekayaan ideologi yang dimilikinya.
Partai politik harus didorong kembali pada eksistensinya, sebagai kawah candradimuka pemimpin ideologis. Bukan sebatas kendaraan menuju istana yang menyewakan kursinya bagi orang yang sekadar lihai menari di panggung populisme, tapi miskin ideologi.
Pelajaran 2014
Kilas balik Pemilu 2014. Munculnya sosok Jokowi di bursa Capres memang terkesan orbitan populisme. Tapi Jokowi mampu membuktikan kemimpinan dan kebijakannya berpijak pada prinsip berdikari dan berkepribadian.
Jejak politik Jokowi sebagai kader partai politik tidak diragukan. Penghayatan atas ideologi partainya tergambar dalam nawacita. Itu semua tidak lepas dari kesadaran Megawati yang tidak ceroboh memberi mandat.
Dalam sebuah kesempatan, Presiden Jokowi menolak dijuluki Bapak Infrastruktur. Sebab tujuan kepemimpinannya bukan sekadar itu. Bagi Jokowi, infrastruktur hanya pondasi material dari pegangan ideologisnya.
Penulis bisa memahami ketika Megawati cukup lama untuk memberi mandat kepada Jokowi di Pilpres 2014. Tampaknya Megawati tidak ingin ceroboh pada populisme. Tetapi banyak orang salah tafsir ketika Megawati menyebut Jokowi sebagai petugas partai. Kalau direnungi secara mendalam, Megawati mengirim dua pesan yang tidak sederhana di tengah gelombang populisme.
Pertama, ia ingin menegaskan kepada Jokowi kalau dirinya terpilih kepemimpinannya harus mencerminkan ideologi partai. Kedua, pesan yang secara simbolik mendudukkan partai politik lebih dari sekadar personal Jokowi yang tengah digandrungi masyarakat.
Sebagai penutup mari pahami bersama, untuk menghasilan pemimpin ideologis, Pemilu 2024 tidak cukup sekadar menemukan sosok yang bisa bekerja dan populer. Presiden Amerika Serikat ke-36 Lyndon Baines Johnson pernah mengingatkan, “Tugas terberat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengatahui apa yang benar harus memiliki penghayatan ideologi. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS