JAKARTA – Ketua DPR RI Puan Maharani dipercaya menjadi pembaca teks proklamasi dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI, Selasa (17/8/2021).
Menurutnya, tugas membaca teks proklamasi yang 76 tahun lalu dibacakan Bung Karno memiliki makna tersendiri baginya sebagai cucu Sang Proklamator.
“Tugas ini dipercayakan kepada saya kan terkait posisi saya selaku Ketua DPR RI. Namun saya termasuk orang yang tidak percaya begitu saja akan sebuah kebetulan belaka, bahwa kakek saya saat itu yang didaulat membacakan teks proklamasi dan 76 tahun kemudian cucu perempuannya didaulat untuk membacakan teks yang sama,” kata Puan di Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Puan bisa merasakan bagaimana suasana tak menentu akibat Perang Dunia II saat Soekarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
“Hari ini, suasana tak menentu yang sama dirasakan dunia akibat ‘perang’ melawan Covid-19 dan varian Delta,” ujarnya.
Oleh karena itu, Puan mencoba merenungi pesan di balik tugas yang diberikan kepadanya sebagai pembaca teks proklamasi pada Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI ini.
“Apa makna dari tugas ini, itu yang terus coba saya renungi, pesan dan misi apa yang saya emban? Satu hal yang saya resapi sejak hari saya dilantik sebagai Ketua DPR, bahwa saya harus terus menjaga dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan yang diinginkan para founding fathers kita dan penjuang-pejuang terdahulu,” kata Puan.
“Bahwa negeri yang merdeka ini harus berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya bangsanya,” tambah Ketua DPP PDI Perjuangan yang menyiapkan pembacaan teks Proklamasi dengan mendengarkan rekaman suara Bung Karno tersebut.
Menurutnya, proklamasi adalah bukti bahwa kemerdekaan bisa diraih kalau bangsa Indonesia bersatu dan mempunyai cita-cita bersama.
“Bahwa kalau bangsa kita bergotong royong, apapun bisa kita wujudkan. Proklamasi itu awal dari proses membangun republik ini menjadi Indonesia Maju dan Hebat,” sebutnya.
Dalam membacakan teks proklamasi, Puan mengenakan pakaian tradisional Bundo Kanduang, asal Lintau, Tanah Datar, Sumatera Barat.
“Negeri yang merdeka ini tidak hanya harus berdaulat secara politik dan berdikari secara ekonomi, tetapi juga berkepribadian dalam budayanya,” ujar Puan mengutip Trisakti Bung Karno.
Dia memakai busana Bundo Kanduang bernuansa krem, merah dan emas ini. Busana ini biasa dipakai seorang wanita yang telah dewasa atau yang telah menikah, dengan memakai Tingkuluak Balenggek, penutup kepala yang berasal dari Lintau, Tanah Datar.
Oleh wanita Minang, busana Bunda Kanduang biasa dipakai pada acara adat seperti pernikahan, pengangkatan datuak, dan lainnya. Makna dari busana ini adalah merupakan simbol dari pentingnya peran seorang ibu dalam sebuah keluarga. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS