BANYUWANGI –Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Sonny T. Danaparamita, mengkritik tajam kebijakan pengelola Taman Nasional (TN) Alas Purwo terkait retribusi yang dikenakan kepada umat Hindu yang beribadah di Pura Luhur Giri Salaka.
Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan kegagalan memahami substansi permasalahan dan bahkan berpotensi melanggar prinsip kebebasan beragama.
Meski begitu, Sonny juga mengapresiasi respons cepat pihak TN Alas Purwo terhadap keresahan masyarakat. Ia menyoroti adanya diskriminasi dalam penerapan tarif Rp 0 bagi umat Hindu dari tiga kecamatan sekitar kawasan taman nasional.
“Kebijakan ini diskriminatif, karena hanya menggratiskan warga di tiga kecamatan, sementara umat Hindu dari daerah lain tetap dikenakan biaya. Ini tidak adil dan melanggar asas kesetaraan,” ujar Sonny.
Lebih lanjut, Sonny mengutip Pasal 18 ayat (3) dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Pasal tersebut menegaskan bahwa kebebasan beragama hanya boleh dibatasi demi keselamatan atau kepentingan masyarakat luas.
“Kebijakan retribusi ini tidak relevan dengan alasan tersebut, sehingga masuk kategori diskriminasi terhadap kebebasan beragama,” tambahnya.
Sonny juga mengkritik kebijakan ‘fleksibilitas’ di lapangan yang memungkinkan petugas mengurangi tarif bagi umat yang merasa keberatan.
Menurutnya, kebijakan tersebut membuka celah penyalahgunaan wewenang dan tidak berkepastian hukum yang jelas.
“Ini adalah kebijakan abu-abu yang berpotensi merugikan masyarakat sekaligus mencoreng kredibilitas negara. Kami menyarankan agar revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dilakukan lebih komprehensif,” ujarnya.
“Selain mempertimbangkan kebebasan beragama, kebijakan tarif juga perlu memperhatikan pelajar dan peneliti yang kerap menggunakan kawasan taman nasional untuk kegiatan ilmiah,” lanjutnya.
Sonny juga menegaskan, keberatan ini tidak hanya datang dari umat Hindu, tetapi juga dari pelajar dan pihak-pihak lain yang merasa dirugikan oleh kebijakan tarif taman nasional.
Ia mencontohkan, kawasan seperti TN Baluran juga sering digunakan oleh akademisi untuk studi lapangan. Dengan biaya retribusi yang tinggi, akses terhadap penelitian menjadi terbatas dan dapat menghambat pengembangan ilmu pengetahuan.
“Taman nasional harus menjadi ruang publik yang inklusif, bukan tempat yang justru menghambat kebebasan warga untuk beribadah atau melakukan penelitian,”tuturnya.
Karena itu, Sonny memperingatkan pengelola TN Alas Purwo untuk tidak berlindung di balik dalih regulasi sambil melanggar konstitusi.
“Taman nasional tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian dan rekreasi, tetapi juga pusat penelitian dan pendidikan. Jangan sampai kebijakan retribusi ini justru menghalangi fungsi tersebut,” tandasnya. (ars/set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS