SIDOARJO– Ketua Panitia Khusus (Pansus) I DPRD Kabupaten Sidoarjo, Tarkit Erdianto, menegaskan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sidoarjo 2025–2029 harus berpijak pada data yang valid dan semangat keadilan, bukan sekadar memenuhi syarat administratif atau menjadi ajang program populis.
Dalam rapat pembahasan yang digelar pekan ini, Tarkit menyampaikan keprihatinan atas rendahnya akurasi data yang menjadi dasar berbagai program bantuan, termasuk pendidikan dan sosial. Ia menyebut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai sumber persoalan yang hingga kini belum terselesaikan.
“Fitnah kalau dianggap valid. Karena apa? Ketidakvalidan ini disumbang dari tingkat bawah—RT, RW. Maka saya sampaikan, validasi data jangan lagi menggunakan pola lama,” ujar Tarkit dalam forum konsultasi publik rancangan akhir RPJMD Kabupaten Sidoarjo Tahun 2025-2029 di Kantor Bappeda Sidoarjo, Sabtu (5/7/2025).
Menurutnya, data DTKS yang digunakan selama ini kerap tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan, bahkan dinilai memunculkan ketimpangan dan rasa tidak adil dalam penyaluran bantuan.
Tarkit juga menyoroti akar masalah kemiskinan di Sidoarjo, yang menurutnya bukan semata soal ekonomi, melainkan mentalitas sebagian masyarakat.
“Persoalan kita bukan warga miskin, tapi warga yang bermental miskin. Kalau minta ke Tuhan, mintanya kaya. Tapi ke pemerintah, semua ngaku miskin,” katanya dengan nada kritis.
Karena itu, ia mendorong agar validasi data dilakukan oleh pihak independen seperti akademisi dan mahasiswa, agar data dasar yang digunakan dalam RPJMD benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.

Pendidikan
Menyoal program pendidikan, Tarkit menolak keras pendekatan berbasis capaian akademik semata dalam pemberian bantuan. Ia mengkritik kebijakan syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,4 dalam program beasiswa, yang menurutnya tidak menjawab problem ketimpangan.
“Saya lebih condong pada bantuan pendidikan yang berkeadilan. Kalau ngomong beasiswa kok seperti program elektoral,” katanya.
Ia menilai, banyak mahasiswa dengan potensi besar justru terpinggirkan karena sistem yang tidak mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi mereka.
“Yang masuk saja setelah diverifikasi IPK-nya 3,8, itu kan berat. Kalau semua harus begitu, apa kabar anak-anak kita di daerah?” tambahnya.
Lebih lanjut, Tarkit juga menyoroti program bantuan seperti MBG (makanan bergizi Gratis) dan pendirian Sekolah Rakyat, yang menurutnya belum tepat sasaran.
“Apa artinya anaknya dikasih MBG, sementara orang tuanya kena PHK dan menganggur? Kita ini butuh lapangan pekerjaan, bukan hanya program tempelan,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan kesiapan sumber daya manusia di lapangan untuk mendukung program seperti Sekolah Rakyat, mengingat keterbatasan guru yang sudah ada saat ini.
Sebagai solusi jangka panjang, Tarkit mendorong terbentuknya big data daerah terpadu, yang bisa digunakan lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Dengan basis data yang sama dan valid, program-program daerah bisa lebih tepat sasaran.
“Kalau lulusan SMK lebih banyak, ya jangan latih mereka jadi yang lain. Harus sinkron. Makanya data itu penting. Validasi dulu, baru jalan programnya,” tandasnya.
Tarkit menegaskan bahwa RPJMD bukan sekadar formalitas dokumen lima tahunan, melainkan arah pembangunan yang harus bisa menjawab kebutuhan dan tantangan nyata di masyarakat.(hd/hs)













