“SAYA ingin meneguhkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di negeri ini. Yaitu, Islam yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. Gus Dur selalu menasehati kita agar menjaga wajah Islam yang ramah dan toleran”, ujar Jokowi dalam wawancara dengan al-Mihrab. Ia menyadari betul hakikat ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas umat Islam di negeri ini.
Sejarah kehadiran Islam di bumi Nusantara amatlah berbeda dengan sejarah Islam di Timur-Tengah dan belahan dunia Islam lainnya, yang biasanya berasal dari pertumpahan darah, baik yang berlatarbelakang perebutan kekuasaan antar-klan maupun penaklukan atas nama agama.
Islam di bumi pertiwi ini mempunyai latar sejarah tersendiri, yang meniscayakan setiap pemimpin harus merawat wajah ramah dan toleran yang diekspresikan oleh sebagian besar penganutnya. Menurut Jokowi, ekspresi toleran dan moderat umat Islam di negeri ini tercermin dalam setiap pembuka ayat-ayat suci al-Quran. “Setiap membaca al-Quran, kita akan memulai bacaan dengan basmalah, yang artinya Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah SWT adalah sumber kasih-sayang”, ujar capres nomor urut 2 itu.
Jokowi mengingatkan kita semua perihal pentingnya memahami hakikat Islam dan sejarahnya di negeri ini. Jika kita salah kaprah dalam memahami Islam, maka kita akan terjebak dalam distorsi pemahaman, yang bila tidak hati-hati dapat mereduksi hakikat Islam itu sendiri.
Selain itu, lemahnya penghayatan terhadap sejarah Islam di negeri ini akan mengalami berbagai benturan dengan keragaman agama dan tradisi yang sudah mendarah-daging dalam realitas sosial sehari-hari. Maka dari itu, diperlukan pembelajaran yang serius dari para ulama yang telah terbukti mengajarkan Islam kepada umat melalui pesantren.
Pesantren
Sejak mendapatkan mandat resmi dari Ketua Umum PDI Perjuangan untuk menjadi capres, Jokowi langsung melakukan silaturahmi ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah di Jakarta. Ia memberi sinyalemen kuat, bahwa perhatiannya sangat kuat terhadap kedua ormas yang dikenal sebagai lokomotif gerbong moderasi Islam di negeri ini.
Di tengah kesibukannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada masa itu, ia menyediakan waktu bertandang ke sejumlah pesantren. Pertama-tama ia bersilaturahmi ke Pesantren Raudhatuth Tholibin, Rembang, Jawa Tengah untuk berjumpa dengan KH. A. Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus. Jokowi memahami betapa pentingnya posisi pesantren dan kharisma Gus Mus sebagai “guru bangsa”. Apalagi Gus Mus saat ini menjabat sebagai Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Dalam suasana keakraban, Jokowi mendengarkan nasihat dari Gus Mus. Kiai yang juga dikenal sebagai budayawan itu berpesan agar Jokowi mampu mengomunikasikan seluruh visi-misi dan programnya dengan baik kepada seluruh masyarakat. “Sebagai capres, Jokowi mesti menyampaikan kelebihan program-programnya kepada publik, bukan menumpang ketenaran orang lain,” pesan Gus Mus.
Pesan yang disampaikan Gus Mus menjadi perhatian khusus Jokowi. Ia menyadari betapa pentingnya seorang capres dapat memaparkan visi-misinya terkait dengan masa depan bangsa dan negara, terutama yang terkait langsung dengan kemaslahatan seluruh warga. Di dalam kaidah fiqh dikenal, tasharrruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan seorang pemimpin terhadap warganya harus sejalan dengan kemaslahatan mereka).
Perlu diingat, NU dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama pada tahun 2006 menegaskan komitmen NU terhadap Pancasila. Muhammadiyah juga telah menegaskan komitmennya terhadap Pancasila. Ada yang berseloroh, Pancasila sudah dianggap final sebagai dasar negara, meskipun belum pernah melalui fase perempat dan semifinal.
Maka dari itu, saat bersilaturahim ke Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, yang diasuh oleh Mbah Maimun—panggil akrab KH. Maimun Zubair—Jokowi banyak mendengarkan petuah-petuah yang disampaikan oleh kiai sepuh itu. Diantaranya, Mbah Maimun menjelaskan pentingnya kaum nasionalis merangkul kaum Nahdliyin sebagai penyangga utama pilar kebangsaan di negeri ini. “Dalam sejarah jelas sekali, keharmonisan antara kaum nasionalis dan Nahdliyin menjadi kekuatan tersendiri bagi solidaritas kebangsaan kita.”
Sebelum silaturahim ke Pondok Pesantren al-Anwar, Sarang, Jokowi silaturahim ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Ia berjumpa dengan KH. Salahuddin Wahid, berbicara banyak hal tentang penegakan hukum dan pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Setelah itu Jokowi melakukan napak tilas, berziarah ke makam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Setelah ziarah dan membaca tahlil, Jokowi memberikan keterangan pers kepada media. “Kunjungan saya ke pesarean Hadrussyaikh dalam rangka mengingatkan kita semua pada sejarah penting bangsa ini, perihal pentingnya kaum nasionalis dan Nahdhiyin membangun harmoni untuk kemajuan bangsa. Para pendiri dan tokoh NU telah mengajarkan itu semua kepada kita,” ujar mantan Walikota Solo itu.
Dalam kunjungan ke pesantren-pesantren, Jokowi menyelami kembali nafas dan watak Islam Nusantara yang dikenal ramah dan toleran itu. Ia ingin banyak belajar dan mendengarkan pesan-pesan berharga dari para kiai.
Saat bersilaturahim ke Pesantren al-Fadlu wa al-Fadhilah, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, yang dipimpin Mbah Dim—panggilan akrab KH. Dimyati Rais, Jokowi mendapatkan siraman ilmu perihal ungkapan Imam al-Ghazali, bahwa posisi seorang pemimpin sangat penting dalam paradigma fiqh Islam, karena ia akan menentukan hidup-mati orang banyak. Sebab itu, kata Mbah Dim, memilih pemimpin yang tepat merupakan hal yang penting bagi kalangan Nahdliyin.
Silaturahim ke sejumlah pesantren merupakan hal yang penting bagi Jokowi, karena pesantren telah terbukti berperan penting dalam pencerahan dan pemberdayaan umat. Apalagi pesantren juga menjadi bagian terpenting dalam membangun revolusi mental. “Saya melihat betapa pesantren telah berhasil melakukan revolusi mental, terutama dalam menanamkan akhlaqul karimah kepada para santri”, ujar Jokowi di salah satu pesantren di Cilacap, Jawa Tengah.
Persaudaraan
Salah satu watak yang paling menonjol dalam keberislaman di negeri ini, yaitu persaudaraan dan gotong royong. Faktanya, keragaman yang muncul tidak hanya antar-agama, melainkan juga dalam intra-agama. Di dalam komunitas Muslim, terdapat banyak paham, mazhab, dan sekte.
Kemampun para ulama terdahulu membangun persaudaraan patut diacungi jempol. Salah seorang ulama yang sangat populer dengan konsep persaudaraannya, yaitu KH. Ahmad Shiddiq. Ia menggarisbawahi tiga model persaudaraan, yaitu persaudaraan berdasarkan ikatan keislaman (ukhuwwah islamiyyah), persaudaraan berdasarkan ikatan kebangsaan dan kewargaan (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan berdasarkan solidaritas kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).
Jokowi memahami betul pentingnya persaudaraan. Umat Islam dapat mempelajari pentingnya persaudaraan dari khazanah Islam. “Islam mengajarkan keseimbangan antara hubungan vertikal dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan horizontal antara sesama manusia (hablum minannas)”, ujar Jokowi dalam wawancaranya dengan al-Mihrab.
Ia menambahkan, salah satu ekspresi hablum minannas, yaitu membangun persaudaraan di antara sesama umat beragama, sesama warga bangsa, dan warga dunia yang hidup tanpa batas.
Persaudaraan merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap Muslim. Sebab itu, Bung Karno memaknai “Ketuahan Yang Maha Esa” adalah ketuhanan yang berkebudayaan. Yaitu, penghayatan atas agama yang dalam ekspresinya membangun sikap saling menghargai, menghilangkan egoisme dan fanatisme, serta memberikan kebebasan pada setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah dan keyakinannya.
Kuncinya adalah cinta dan persaudaraan yang tertanam kuat dalam sanubari setiap umat, sehingga keberislaman menjadi energi positif untuk membangun solidaritas kebangsaan dan penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan.
Amal Shaleh
Puncak dari keberislaman seseorang Muslim, yaitu amal shaleh. Iman harus menjelma amal shaleh yang dapat mewarnai kehidupan sehari-hari. Filosofi ini menjadi salah satu kekuatan bagi seorang Muslim. Sebab, amal shaleh telah menjadikan seorang Muslim hidup dengan tenang di dunia dan akhirat.
Jokowi sangat menggarisbawahi pentingnya amal shaleh. Bahkan, dalam setiap amanah yang diberikan rakyat kepadanya selalu diniatkan untuk melakukan amal shaleh sebanyak-banyak bagi orang lain. “Selama dipercaya rakyat untuk memimpin Kota Solo dan DKI Jakarta, saya selalu meniatkan amanah tersebut dalam rangka beramal shaleh”, ujar sosok yang sejak kecil ditempa dengan nilai-nilai keislaman.
Perihal amal shaleh, KH. Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah—mengajarkan hal yang sangat berharga, yaitu pentingnya welas asih bagi kaum miskin (dhuafa) dan kaum tertindas (al-mustadh’afin). Ia merenungi betul surat al-ma’un, bahwa orang mendustai agama adalah orang yang sering menghardik anak yatim dan tidak menafkahi orang miskin.
Filosofi ini sangat kuat dalam diri Jokowi. Selama menjabat Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, ia tidak pernah mengambil gaji bulanannya. Ia hanya menandatangani slip gaji dan memberikannya bagi orang-orang miskin dan anak yatim.
Sungguh mulia hati Jokowi, karena ia tidak hanya beramal shaleh dalam kapasitasnya sebagai pemimpin yang membuat kebijakan merakyat, seperti Kartu Sehat dan Kartu Pintar, tetapi juga memberikan gajinya untuk orang-orang yang tidak mampu dan tertindas.
“Marilah kita selalu membumikan amal shaleh dengan cara bekerja dan berbuat yang terbaik untuk negeri tercinta. Semua itu harus dimulai dari diri kita sendiri, dan sekarang saatnya”, ujar sosok yang akrab dengan baju kotak-kotanya itu.
Itulah visi Islam Rahmatan lil ‘Alamin ala Jokowi, yang tidak hanya diwacanakan dalam lisan dan pikiran, melainkan sudah dilaksanakan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, baik di Solo maupun di Jakarta.
Kini, ia sedang bertarung untuk merebut kursi kepresidenan. Ia pun diharapkan dapat menegukan visi Islam Rahmatan lil ‘Alamin, sehingga Islam menjadi kekuatan yang membebaskan, mencerahkan, merangkul, dan mendamaikan negeri ini. Seperti Bung Karno, Jokowi ingin “api Islam” terus menyala di negeri yang beragam ini. (al-mihrab)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS