PONOROGO – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo menggandeng berbagai organisasi masyarakat (ormas) untuk berperan serta menurunkan angka stunting di Ponorogo. Ormas tersebut, di antaranya, MUI, NU, Muslimat, Muhammadiyah, Aisyiyah, serta melibatkan TNI/Polri, DPRD, dan pihak-pihak lainnya.
“Hari ini kita mengundang banyak stakeholder dan pemuka agama untuk terlibat langsung dalam penanganan dan penurunan stunting di Kabupaten Ponorogo,” ujar Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, usai penandatanganan MoU antara Pemkab Ponorogo dengan para stakeholder Tim Penanganan dan Penurunan Stunting (TPPS) Kabupaten Ponorogo, dalam acara Rembuk Stunting Kabupaten Ponorogo, Rabu (12/7/2023) di Aula Bappeda Litbang Ponorogo.
Menurut Bupati Sugiri, pihaknya optimis bisa menurunkan angka prevalensi stunting di Ponorogo dari 14,2 pada 2022, menjadi 7 persen pada 2024. Hal itu berdasarkan pengalaman sebelumnya, di mana terdapat 20 persen pada 2021, ternyata bisa terus ditekan hingga mencapai 14,2 pada 2022.
“Kan itu bisa dikerjakan percepatan, diupayakan, suatu barang yang kelihatan cara-cara yang paling baik adalah pencegahan. Tidak gizi saja (yang diperbaiki), tapi juga tidak nikah dini, hamil usia muda, tapi juga sanitasi, literasi. Ini panjang rangkaiannya. Termasuk kebersihan, pola hidup, pola makan,” ujarnya.
Pelibatan ormas seperti NU dan Muhammadiyah, karena dua organisasi besar ini merupakan mayoritas dari penduduk Ponorogo. Sehingga melibatkan mereka sangat penting untuk menekan angka stunting di Ponorogo dengan mengubah pola pikir (mindset) masyarakat.
“Rakyat kami irisan NU, Muhammadiyah, yakin (melibatkan mereka) bisa dicapai, memenuhi target. Sebab tidak hanya akhlak yang diperbaiki, tapi juga fisik untuk menurunkan stunting. Karena anak-anak ini embrio menuju ke sana. Semua pihak diajak untuk berpartisipasi, ikut berpikir,” terang politisi PDI Perjuangan itu.
Local Government Capacity Building for Acceleration of Stunting Reduction (LGCB-ASR) Regional 3 Kemendagri, Ida Nurbaya, yang hadir dalam rembuk stunting tersebut, menyampaikan, prevalensi stunting tingkat nasional adalah 21,3 persen. Jawa Timur menempati rangking 9 dengan tingkat prevalensi 19,2 persen.
“Permasalahan stunting di Jawa Timur mulai dari pola asuh, pelayanan kesehatan, kurang akses air bersih, sanitasi dan masih banyak lagi. Untuk penanganan stunting ini harus ada kolaborasi pentahelix, yakni melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media,” ujar Nurbaya.
Nurbaya juga ingin memastikan, prevalensi stunting tersebut komprehensif dengan data. Jangan sampai data hanya berhenti di usia balita, atau yang mengalami stunting di luar jangkauan sasaran.
“Atau secara usia tidak masuk sasaran dalam percepatan stunting, karena data belum komprehensif,” pungkasnya. (jrs/set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS