PONOROGO – Peristiwa 27 Juli 1996 alias Kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh Juli) menjadi catatan kelam bagi sejarah demokrasi di Indonesia. Di mana pada saat itu terjadi penyerbuan dan pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat.
Kantor yang sebelumnya dikuasai pendukung Ketua Umum DPP PDI Megawati Soekarnoputri, secara mendadak diserang oleh pendukung Soerjadi yang diyakini mendapat back up dari pemerintah dan aparat. Sebagaimana diketahui, tragedi Kudatuli telah memakan banyak korban tewas, luka-luka, bahkan hilang.
Seperti Mahendro, Banteng Ponorogo ini merupakan salah satu pejuang Kudatuli. Ia menceritakan pengalamannya saat mati-matian mempertahankan kantor DPP PDI bersama pejuang lainnya.
“Pagi itu kami melihat ada 4 sampai 5 truk. Mereka mengucapkan ‘hidup Mega, hidup Mega!’. Tapi justru aneh, saat truk mundur, pasukan langsung loncat bilang ‘serbuu!!’. Jadi orang-orang yang menyerang kantor DPP ini memang orang-orang yang terlatih,” ujar Mahendro mengawali cerita, Rabu (27/7/2022).
Mengetahi hal tersebut, Mahendro yang kala itu berusia 25 tahun langsung kocar-kacir. Kemudian ia merasa mendapat bisikan dari ibunya untuk segera memasuki kantor.
“Begitu ada bisikan, saat kantor diserang, saya lompat pagar masuk kantor. Sampai sekarang saya bingung kok bisa pagar setinggi 2 meter lebih itu bisa saya loncati?” lanjut Mahendro, yang pernah menjabat lima periode sebagai pengurus DPC PDI Perjuangan Ponorogo itu.
Ia juga dipukul mundur oleh pasukan. Tanpa disengaja ia menginjak orang-orang yang diyakininya sudah tewas. Dengan mata kepalanya sendiri, Mahendro juga melihat para korban di-fotocopy sampai digorok lehernya.
“Ada salah seorang teman dari Indonesia Timur, digorok tentara pakai sangkur. Dan herannya lagi yang menyerang DPP kayak orang kesetanan. Ketemu orang hamil, anak kecil itu dipukul. Fasilitas apa saja dirusak,” bebernya dengan mata berkaca-kaca.
Atas kejadian itu, ia dan 124 pejuang lainnya dipenjara selama 4 bulan lebih. Selama 20 hari terakhir, ia sempat mendekam di penjara bawah tanah.
“Tidak boleh ada yang menjenguk. Kami di sana bisanya cuman teriak-teriak mengeluarkan emosi kami saat itu,” tutur kader PDI Perjuangan asal Babadan itu.
Namun hal itu tak berlangsung lama, setelah Komnas HAM dan TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indoensia) turun, Mahendro bersama rekan-rekan akhirnya bisa berkomunikasi dengan pihak luar.
Kejadian tersebut sampai menyerang psikis Mahendro. Bahkan kala itu ia dan keluarganya dicap sebagai pemberontak.
“Kayak gitu tidak lama, sih. Tapi di satu sisi dapat manfaat mungkin dari kyai, bahwa suatu saat kebenaran akan terungkap,” pungkasnya. (jrs)













