Tradisi akademis bukan semata-mata muncul dari kampus. Seseorang yang menggunakan nalar, akal budi, dan daya rasionalitasnya untuk melihat realitas atau suatu fenomena, dan kemudian mengonstruksikannya ke dalam sistem pengetahuan, sudah bisa masuk dalam tradisi akademis, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan formal sarjana sekalipun. Tradisi akademis inilah yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu bukannya tanpa nilai. Bung Karno selalu menegaskan bahwa ilmu pengetahuan untuk amal. Di situlah praksis ilmu pengetahuan bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara memberi “nilai” aksiologis ilmu pengetahuan.
Pancasila juga lahir melalui tradisi akademis. Dalam pengembaraan intelektualnya, Bung Karno menggali Pancasila melalui proses dialektis, suatu pemaknaan secara dinamis dari hubungan sebab akibat, aksi dan reaksi, namun membumi dengan realitas kehidupan rakyat, khususnya rakyat marhaen, wong cilik. Dalam realitas itulah Bung Karno menggali peradaban masa lalu seperti kehebatan Candi Borobudur dan seluruh ikon kemajuan peradaban Nusantara lainnya, termasuk rekam jejak bangsa bahari. Bung Karno juga menangkap spirit keberanian seorang pemimpin seperti Kertanegara. Demi membangun kedaulatan kerajaan Singosari, Kertanegara berani menyampaikan pesan tegas dengan mengiris kuping utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Qi. Tidak hanya itu, Kertanegara sudah memiliki pandangan geopolitik tentang kepemimpinan Nusantara dengan mengirim ekspedisi Pamalayu guna menegaskan kedaulatan atas wilayah teritorialnya menghadapi ancaman Mongol dari utara.
Tradisi akademis yang terpenting dalam perumusan Pancasila terjadi ketika pengetahuan modern Barat dijadikan pisau analisis, disintesakan, dan diinternalisasikan dalam keseluruhan falsafah bangsa yang telah hidup di bumi Nusantara. Nasionalisme yang tumbuh subur di Barat, lahir dari pengetahuan geopolitik, kemudian berkembang menjadi ambisi penguasaan wilayah dengan dalil peradaban bangsa yang lebih tinggi memerlukan ruang ekspansi sehingga bisa menjajah bangsa lain dengan peradaban lebih rendah. Nasionalisme pada watak ekspansionis ini oleh Bung Karno diganti menjadi sosio-nasionalisme. Sosio-nasionalisme tidak melebih-lebihkan bangsa sendiri, tetapi menyadari eksistensi bangsa dalam pergaulan antarbangsa. Sosio-nasionalisme juga diperlukan sebagai daya imajinasi tentang pentingnya kesadaran senasib sebagai satu bangsa. Demikian halnya demokrasi yang muncul dari tradisi peradaban Yunani, yang bergema kuat pasca Revolusi Perancis, dibumikan menjadi sosio-demokrasi. Suatu demokrasi yang cocok dengan budaya bangsa Indonesia yang menempatkan pentingnya hikmat kebijaksanaan melalui model pengambilan keputusan yang mengedepankan konsensus.
Pancasila sebagai sintesa ideologi besar dunia juga menempatkan pentingnya nilai ketuhanan. Ketuhanan yang berbudi pekerti, yang meneladani sifat Tuhan untuk terus menebar kebaikan. Ketuhanan yang tidak ada egoisme agama. Ketuhanan yang menjadikan Nusantara, Indonesia Raya, sebagai negeri spiritual, di mana semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan bisa hidup berdampingan secara damai. Dengan adanya nilai ketuhanan ini, koreksi atas manifesto komunis dilakukan. Selanjutnya, melalui sila kemanusiaan dan keadilan sosial declaration of independence pun dirombak total. Dengan memasukkan prinsip kebangsaan dan musyawarah-gotong royong, wajah demokrasi untuk demokrasi diubah menjadi demokrasi yang berkeadilan sosial untuk seluruh warga bangsa.
Dengan tradisi akademis yang begitu kuat di seputar kelahiran Pancasila, tantangannya berada pada tataran praksis. Di sini diperlukan disiplin, semangat, tekad, dan program agar keseluruhan esensi filsafati yang terkandung dalam Pancasila dapat dijalankan. Mengapa tradisi akademis penting? Sebab di situlah nalar dikedepankan. Terlebih dalam kebijakan publik. Rasionalitas dalam setiap kebijakan publik diambil atas dasar potret sosial yang seharusnya dicermati secara objektif, bukan didasarkan pada kepentingan jangka pendek kekuasaan. Ketika lapisan masyarakat bawah menderita akibat kenaikan BBM misalnya, bagaimana kajian akademis menilai kebijakan tersebut? Realitas objektif atas kenaikan BBM seharusnya dijawab dengan kebijakan meningkatkan kemampuan produksi rakyat, bagaikan peribahasa ”berikan kail, jangan ikannya”. Di sini pendidikan vokasi, penguatan UMKM dengan modal kerja, penguatan akses pasar, dan peningkatan kualitas produk dan lain-lain dapat dikedepankan. Namun ketika rasionalitas kekuasaan lebih dominan, apalagi menjelang pemilu, muncul godaan kebijakan bantuan jangka pendek yang hanya sekedar mendorong konsumsi. Di sinilah daya kritis melalui kajian akademis bisa mempertanyakan tepat tidaknya suatu kebijakan.
Tradisi akademis akan melahirkan research based policy (RBP), di mana kebenaran ilmiah dikedepankan. RBP ini menjadi rel kebijakan publik agar apa yang diamati sebagai masalah, meski baru muncul sebagai fenomena, bisa dipahami dalam konstruksi yang lebih besar dalam kaitannya dengan sistem sosial, sistem produksi nasional, bahkan berkaitan dengan kebijakan strategis suatu negara. Jawaban atas realitas mengapa petani miskin oleh Bung Karno dikonstruksikan pada persoalan sistem perekonomian yang menghisap. Petani miskin akibat penghisapan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini petani hanya menjadi salah satu elemen dalam sistem produksi yang menguntungkan pemegang modal. Solusi yang diambil Bung Karno adalah membangunkan rakyat Indonesia agar memiliki kesadaran kolektif sebagai bangsa terjajah. Kesadaran ini melahirkan energi perjuangan untuk merdeka. Di seberang “Jembatan Emas kemerdekaan” itulah para pemimpin bangsa bertekad untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari kemiskinan. Di sinilah prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial dikedepankan.
Dalam era saat ini, ketika sistem demokrasi dan sistem ekonomi dalam praktiknya berubah menjadi liberal, setiap ada fenomena seperti tren kenaikan harga beras, rasionalitas publik dikerdilkan dengan “pembenaran nalar” tentang pentingnya impor. Alih-alih mencari akar persoalan mengapa Indonesia selalu tergantung pada impor pangan global, yang terjadi hanyalah manipulasi nalar publik, bahkan sering dibumbui dengan klaim “kebenaran akademis” untuk melegitimasi impor.
Atas dasar hal tersebut, tradisi ilmiah yang mengedepankan kebenaran objektif bisa menjadi tolok ukur analisis kebijakan. Kebijakan bisa dievaluasi secara objektif dari landasan kebijakan; korelasi dengan ideologi Pancasila, amanat konstitusi, dan peraturan perundang-undangan. Kebijakan juga bisa dilihat dari komitmen dan moralitas pemimpin bagi rakyat, bangsa, dan negara. Dalam tradisi ilmiah tersebut bagaimana watak, karakter, keberpihakan, dan tanggung jawab seorang pemimpin bagi masa depan bisa dikaji secara objektif.
Jadi, sungguh mengherankan, ketika sosok senior seperti Bung Saur M. Hutabarat hanya melihat kajian kepemimpinan strategis para pemimpin negara, khususnya presiden, dari perspektif politik semata, hanya karena lontaran gagasan tersebut disampaikan oleh seorang politisi. Kajian akademis apapun namanya, menjadi tidak objektif ketika modus politiknya untuk mendiskreditkan pihak lain. Tradisi ilmiah menghilangkan prejudice. Namun tradisi akademis tidak bisa membutakan diri dengan budaya bangsa, seperti “mikul duwur mendem jero” atau tradisi kritik sebagai bangsa Timur. Tradisi ilmiah juga bisa mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan persoalan seperti misalnya apa yang menyebabkan seorang pemimpin dikatakan berhasil; bagaimana model kepemimpinan strategis yang cocok untuk bangsa Indonesia; apa kriteria kepemimpinan strategis yang diambil dari model keberhasilan para Presiden Republik Indonesia?
Jadi perbandingan antara kepemimpinan Bung Karno dan Pak Harto misalnya berkaitan dengan bagaimana membangun kekuatan pertahanan TNI yang profesional, modern, dan disegani di dunia internasional dapat saja dilakukan secara akademis. Kajian kepemimpinan antara Pak Harto dan Bu Megawati di dalam mengatasi krisis multi-dimensi juga dapat dilakukan secara objektif. Demikian halnya antara Pak SBY dan Pak Jokowi. Kajian akademis tersebut penting dan justru harus dilakukan dengan kaidah akademis, sehingga menjadi objektif. Hal tersebut ditempatkan sebagai bagian dari pendidikan politik tentang kepemimpinan bangsa.
Dalam dunia korporasi, James C. Collins dan Jerry I. Porras berkolaborasi untuk melakukan kajian tentang kultur keberhasilan perusahaan yang visioner. Dalam penelitian itu ditemukan dalil tentang bagaimana model kepemimpinan yang membangun organisasi mampu mengalahkan berbagai mitos. Dalam mitos kepemimpinan itu sering dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ide dan gagasan besar, karismatik, dan memiliki perencanaan strategis yang kompleks. Hasil temuannya ternyata sangat berbeda. Banyak perusahaan besar yang lahir dari ide sederhana. Banyak pemimpin perusahaan besar bukan sosok yang karismatik. Realitasnya, daya endurance dan kemampuan membangun organisasi ternyata lebih diperlukan. Di sini seorang pemimpin hadir sebagai seorang “builders”, pembangun organisasi, bukan sebagai seorang ahli pencerita ataupun ahli citra diri.
Megawati Soekarnoputri misalnya. Ketika menjadi presiden, praktis tidak mengangkat juru bicara. Megawati lebih memilih bekerja dalam kerangka tata pemerintahan guna menjadi solusi atas berbagai krisis dengan percaya pada sistem dan tatanan pemerintahan yang ada. Megawati memberikan perlindungan dan kepercayaan besar bagi para menterinya untuk bekerja, namun selalu bertanggung jawab dan melindungi para menterinya ketika dihadapkan pada berbagai persoalan. “Saya bertanggung jawab sebagai Presiden Republik Indonesia” merupakan kata-kata yang sering diucapkan Megawati dan sekaligus memberi rasa aman bagi para menterinya untuk bekerja profesional tanpa takut direshuffle. Hasilnya, krisis multi dimensional berhasil diselesaikan. Lebih dari 300.000 kredit macet dituntaskan. Bahwa keberhasilan tersebut ada yang mengritik dalam perspektif yang berbeda, itu bagian dari resiko yang harus dihadapi pemimpin.
Namun faktanya, berbagai krisis berhasil diselesaikan, dan pemilu presiden pertama secara langsung bisa dijalankan secara demokratis. Itu legacy kepemimpinan Megawati. Apakah terhadap model kepemimpinan Megawati Soekarnoputri tidak bisa dilakukan kajian secara akademis? Jawabannya pasti bisa. Sebab realitasnya, memang Megawatilah yang menyelesaikan krisis, dan menampilkan tradisi kepemimpinan yang sepi dari hingar-bingar pergantian jabatan akibat reshuffle. Apakah kepemimpinan Megawati dapat diperbandingkan dengan presiden lainnya? Perbandingan kepemimpinan strategis merupakan bagian dari disiplin keilmuan tentang kepemimpinan. Yang terpenting, membangun tradisi ilmiah harus menjadi bagian dari kultur kehidupan bangsa yang memiliki tekad untuk maju.
Kajian akademis juga bisa dilakukan untuk memperbandingkan partai politik. Sebab dalam era yang liberal seperti ini terkadang muncul partai politik yang memiliki kecenderungan penggunaan kekuasaan politik, hukum, media, dan kekuatan kapital secara sendiri-sendiri atau terintegrasi untuk kepentingan politik praktis. Kajian akademis sekaligus dapat mengungkapkan kultur kepemimpinan politik mana yang menggunakan ideologi Pancasila sebagai sumber inspirasi dan daya gerak, dan mana yang hanya mengangkat dalam dataran simbolik-retorik; bagaimana transformasi organisasi kepartaian, apakah fungsi utama partai politik dapat berjalan sistemik, atau partai hanya melegalkan cara pragmatis dengan membajak kader partai lain. Kesemuanya bisa dikaji secara akademis, dan dipastikan begitu banyak manfaat yang akan bisa diperoleh. Tolok ukur yang dipakai tentu asas kemanfaatan partai politik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tradisi akademis penting bagi masa depan. Penting bagi pendidikan politik yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, daripada mengedepankan rasa curiga, lebih baik ramai-ramai bangun tradisi akademis dalam seluruh aspek kehidupan. Merdeka!
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS