“Jikalau engkau benar-benar merayakan (Maulid Nabi Muhammad), kerjakanlah apa yang ia perintahkan. (Presiden Sukarno)
TUJUH puluh tiga (73) tahun lalu, tepatnya pada 2 Januari 1950, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW untuk pertama kalinya dilaksanakan di Istana Negara.
Acara tersebut digelar atas keinginan Presiden Sukarno. Perayaan berlangsung meriah. Sejumlah perwakilan negara tetangga hadir. Menteri Agama yang juga seorang ulama, KH Wahid Hasyim memberikan ceramahnya.
Proklamator Kemerdekaan RI itu ingin banyak orang mengetahui, bahwa semangat Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam dijadikan contoh untuk memerdekakan Indonesia.
Presiden Sukarno dalam pidatonya pada perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW itu mengungkapkan kekagumannya pada Sang Nabi dan ajarannya.
“Di dalam sejarah umat manusia, selalu. Saudara-saudara manusia itu ada yang mimpin, rasul-rasul. Pasti selalu ada perantara antara ajaran. Masuk akal bila kita percaya ada rasul-rasul.
Padahal kita tidak pernah melihat Muhammad. Enggak pernah kita melihat Musa. Enggak pernah kita melihat Sulaiman. Enggak pernah melihat Isa,” katanya.
“Islam adalah agama yang menuju kepada otak. Islam adalah agama yang menuju hati dari otak. Segala ajaran Islam bisa diterima oleh hati kita dan bisa diterima oleh otak,” imbuh Bung Karno.
Bagi Bung Karno, memperingati Maulid Nabi bukan hanya merayakan hari lahir Rasullah SAW semata. Melainkan ajaran yang dibawanya, perjuangan yang dilaluinya di masa lalu.
“Kita sekarang ini merayakan Maulud, Maulud Nabi. Apa sebenarnya yang kita rayakan? Bukan sekadar Muhammad-nya. Bukan sekadar dia itu dulu Nabi, tidak. Yang kita rayakan sebenarnya ialah ajaran, konsepsi, agama yang ia berikan kepada umat,” ucap Soekarno.
“Oleh karena itu kita berkata, jikalau benar-benar engkau cinta Muhammad. Jikalau engkau benar-benar merayakan Maulud Muhammad bin Abdullah, jikalau engkau benar-benar merayakan. Kerjakanlah apa yang ia perintahkan, kerjakanlah apa yang agama ia bawa,” tegasnya.
Dengan suara lantang, Bung Karno membangkitkan semangat rakyat dan tamu yang hadir kala itu. Suaranya menggelora, mengajak menyelaraskan antara ajaran Islam dengan dasar kenegaraan. Hal ini demi mencapai kemenangan bersama.
“Saudara-saudara, mari berjalan terus. Berjalan terus di atas dasar-dasar kenegaraan kita. Berjalan terus sebagai umat Islam, di atas dasar-dasar ajaran agama Islam.
Berjalan terus dan memang telah dijanjikan oleh Tuhan, janji lho, janji, janji oleh Tuhan pada kita,” ujar Soekarno membangkitkan semangat.
“Jikalau kita berjuang benar-benar di atas dasar agama, kita akan menang,” jelasnya
Sang Proklamator itu menyatakan, setiap manusia harus siap dihantam dengan getirnya kehidupan, bila ingin sukses.
“Kita ingin menjadi satu bangsa yang seperti tiap hari digembleng oleh keadaan. Digembleng hampir hancur lebur, bangun kembali. Hanya dengan jalan demikianlah kita bisa menjadi satu bangsa yang benar-benar bangsa otot kawat balung wesi. Ora tedas tapak paluning pandhe (kebal senjata tajam),” kata Bung Karno yang begitu antusias.
Serta menghargai dan mensyukuri segala cobaan hidup. Supaya menjadi pribadi Islam yang kuat.
“Apalagi? Ora tedas sisaning gurindo (tidak takut ancaman). Hanya jikalau kita mengerti dialektik daripada perjuangan. Jikalau engkau umat Islam yang sejati, engkau harus senang, senang, senang selalu digembleng. Senang karena selalu up and down,” tambahnya.(ftr/hs)
Foto: perpusnas.go.id
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS