Oleh Ribut Wijoto*
Saat ini bisa dibilang sebagai periode keemasan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Bagaimana tidak, PDI Perjuangan memenangi 2 kali Pemilihan Umum (Pemilu), yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Posisi Presiden dan Ketua DPR saat ini juga dipegang oleh kader PDI Perjuangan.
Pertanyaannya, apakah posisi PDI Perjuangan telah benar-benar aman untuk menghadapi Pemilu 2024? Jawaban pertanyaan ini adalah ‘tentu belum aman’. Lantas, jika belum aman, apa yang harus dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita menengok ke situasi sekitar 60 tahun lalu.
Sidang Konstituante tanggal 5 November 1957 sampai 14 November 1957 membahas tiga hal, (1) Wilayah Negara, (2) Bahasa Negara, dan (3) Dasar Negara. Para wakil rakyat di Konstituante secara lancar dan cepat membahas perihal wilayah negara dan bahasa negara. Kesepakatan tidak secara sulit dicapai. Namun menginjak pembahasan dasar negara, sejak awal, sudah tampak kompleksitas dan kealotan jalannya sidang.
Pada tahap awal sidang dibuka untuk membahas dasar negara, sekretaris Konstituante mencatat 63 tokoh yang mendaftar untuk diberi kesempatan berpidato. Tersaji tiga pilihan dasar negara: (1) Dasar Negara Sosial-Ekonomi, (2) Dasar Negara Islam, (3) Dasar Negara Pancasila. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pilihan dasar negara Sosial-Ekonomi dicoret sebab kekurangan dukungan suara. Tinggal dua pilihan, yakni dasar negara Islam dan dasar negara Pancasila.
Perdebatan tentang pilihan Islam dan Pancasila inilah yang sangat alot dan kompleks. Terjadi adu argumentasi yang sengit antara kubu Islam yang dimotori Masyumi – NU dengan kubu Pancasila yang dimotori PNI – PKI.
Situasi politik nasional tahun-tahun itu: Jabatan presiden dipegang oleh Paduka Yang Mulia Ir. Soekarno yang merupakan pendiri sekaligus tokoh sentral Partai Nasional Indonesia (PNI). Di tingkat legislatif, hasil Pemilihan Umum 1955, PNI menempatkan 57 wakil di DPR dan 119 wakil di Konstituante.
Pencapaian PNI tersebut mirip dengan keberhasilan PDI Perjuangan saat ini. Berkat hasil Pemilu Legislatif – Pilpres 2014 dan 2019, jumlah kursi PDI Perjuangan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menempati jumlah terbanyak dibanding partai lain. Pun juga, posisi presiden dipegang oleh kader PDI Perjuangan, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lihat 10 partai teratas hasil Pemilu DPR tahun 1955:
No | Nama Partai | Julmlah Suara | Prosentase | Jumlah Kursi |
1. | Partai Nasional Indonesia (PNI) | 8.434.653 | 22,32 | 57 |
2. | Masyumi | 7.903.886 | 20,92 | 57 |
3. | Nahdlatul Ulama (NU) | 6.955.141 | 18,41 | 45 |
4. | Partai Komunis Indonesia (PKI) | 6.179.914 | 16,36 | 39 |
5. | Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) | 1.091.160 | 2,89 | 8 |
6. | Partai Kristen Indonesia (Parkindo) | 1.003.326 | 2,66 | 8 |
7. | Partai Katolik | 770.740 | 2,04 | 6 |
8. | Partai Sosialis Indonesia (PSI) | 753.191 | 1,99 | 5 |
9. | Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) | 541.306 | 1,43 | 4 |
10. | Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) | 483.014 | 1,28 | 4 |
Lihat 10 partai teratas hasil Pemilu Konstituante tahun 1955:
No | Nama Partai | Jumlah Suara | Prosentase | Kursi |
1. | Partai Nasional Indonesia (PNI) | 9.070.218 | 23,97 | 119 |
2. | Masyumi | 7.789.619 | 20,59 | 112 |
3. | Nahdlatul Ulama (NU) | 6.989.333 | 18,47 | 91 |
4. | Partai Komunis Indonesia (PKI) | 6.232.512 | 16,47 | 80 |
5. | Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) | 1.059.922 | 2,80 | 16 |
6. | Partai Kristen Indonesia (Parkindo) | 988.810 | 2,61 | 16 |
7. | Partai Katolik | 748.591 | 1,99 | 10 |
8. | Partai Sosialis Indonesia (PSI) | 695.932 | 1,84 | 10 |
9. | Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) | 544.803 | 1,44 | 8 |
10. | Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) | 465.359 | 1,23 | 7 |
PNI menjadi partai dengan kursi terbanyak tetapi tidak menjadi mayoritas. Dalam sidang-sidang Konstituante, PNI yang berkolaborasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan beberapa partai berbasis Nasrani, mendapatkan pertentangan keras dari partai-partai berbasis Islam yang dimotori oleh Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Sementara di luar gedung Konstituante, pada sekitar tahun itu, situasi politik negara dirongrong oleh dua pemberontakan besar. Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) dan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Presiden Soekarno lantas mengambil tindakan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dua poin dari dekrit tersebut adalah pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945 dengan dasar negara Pancasila.
Tetapi ternyata, Dekrit Presiden bukanlah solusi yang benar-benar mengatasi masalah. Situasi pemerintahan masih belum stabil, gejolak di kalangan masyarakat terus bergelibat. Sejarah lantas mencatat, ada peristiwa besar G-30S/PKI dan lahirlah Orde Baru. PKI dibubarkan. Sementara PNI dikerdilkan melalui fusi dengan beberapa partai lain menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Saat ini, PDI Perjuangan yang memiliki kader sebagai Presiden Indonesia dan memiliki suara terbanyak di DPR RI perlu menimbang ulang sejarah 60 tahun lalu. Jika sampai salah dalam menjalankan strategi politik, nasib PDI Perjuangan bukan tidak mungkin bakal senasib dengan PNI.
Bagaimana strategi politik yang tepat untuk PDI Perjuangan? Elit PDI Perjuangan sendirilah yang tahu pasti. Tapi, ada beberapa gejala yang berkembang saat ini yang juga patut dijadikan pertimbangan.
Teknologi telah berkembang melebihi kemampuan nalar berpikir manusia, melebihi tingkat keseimbangan psikologi. Informasi akurat dan kabar bohong berkarib tengkar hingga sulit dipilah. Batas kelas dan wilayah dirapuhkan. Seseorang bisa dengan cepat ditokohkan secepat dia dijatuhkan.
Di luar kesilangsengkarutan situasi, sentimen primordial dan religiusitas menjadi pegangan bersikap. Seseorang mudah dicurigai karena berasal dari keturunan yang berbeda, iman yang berbeda, golongan yang lain.
Lihatlah latar belakang politik 6 gubernur di pulau Jawa, yakni Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Yogyakarta. Di antara keenamnya, gubernur yang berasal dari kader PDI Perjuangan hanyalah Jawa Tengah.
Mengapa kader PDI Perjuangan kalah dalam banyak Pilgub di Jawa? Kita bisa menyebut beragam faktor eksternal. Tetapi yang tidak kalah penting pula adalah melongok ke faktor internal. Faktor yang inhern (melekat) pada kinerja PDI Perjuangan.
Sudah maksimalkah PDI Perjuangan turun ke pabrik-pabrik untuk bergunjing dengan para buruh? Masih adakah kader PDI Perjuangan yang menghabiskan larut malam di pasar tradisional untuk bersenda gurau dengan bakul-bakul sayur? Turut kerja bakti tingkat RT atau RW untuk membersihkan got. Dan jika aktivitas-aktivitas menguras keringat itu telah dilupakan, PDI Perjuangan jangan lagi mengaku sebagai partainya wong cilik.
Masih mudahkah handphone kader PDI Perjuangan dihubungi oleh tetangga atau teman lama? Ataukah nomor telah ganti atau belum ganti tetapi tiap dihubungi yang menerima adalah sang sekretaris? Masih mudahkah dompet kader PDI Perjuangan terbuka lebar untuk menambal biaya pembangunan musala atau pos keamanan kampung? Jangan sampai kader PDI Perjuangan yang telah duduk dua periode di kursi Dewan mendapat julukan Schumacher (baca: Sumaker), yaitu sugih macak kere.
Pedulikah kader PDI Perjuangan dengan ibu-ibu atau bapak-bapak atau remaja-remaja yang secara rutin menggelar pengajian kitab suci Al-Quran? Mereka yang tekun menghapal dan berusaha menerapkan ajaran firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW. Seberapa sering kader PDI Perjuangan menjalin komunikasi dengan para ustadz yang saban Jumat berdiri di mimbar masjid?
Kekalahan dalam banyak Pilgub di pulau Jawa seharusnya menyadarkan bahwa ada penurunan tingkat kepercayaan terhadap PDI Perjuangan. Penurunan tingkat kepercayaan terhadap rezim Jokowi.
Itulah faktor-faktor yang perlu dijadikan pertimbangan dalam melakukan update strategi partai. Ingat 60 tahun lalu, kebesaran PNI ternyata dengan begitu mudahnya dijatuhkan.
*Budayawan tinggal di Sidoarjo.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS