JEMBER – Revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara memunculkan kegelisahan tenaga honorer di Jember. Kegelisahan itu disampaikan puluhan tenaga honorer di Jember kepada anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim, Hari Putri Lestari.
Tenaga honorer itu berasal dari beberapa instansi, puskesmas, dan Satpol PP di Jember. Salah satu warga Desa Kertosari Kecamatan Pakusari, Faridah, mengaku dirinya sudah puluhan tahun menjadi tenaga honorer di puskesmas. Hingga saat ini belum ada kejelasan untuk direkrut menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
“Hal ini juga banyak dialami di puskesmas lainnya. Diharapkan semua yang sudah bekerja lama diangkat jadi P3K atau PNS,” ujar Faridah, Senin (17/7/2023).
Ia menuturkan, meskipun hanya diberi gaji Rp500 ribu per bulan, tenaga honorer tetap bekerja dan memberi pelayanan profesional. Sementara itu, honorer dan ASN memiliki jam kerja yang sama yakni pukul 07.00-14.00 WIB.
Menanggapi curhatan tenaga honorer itu, Hari Putri Lestari mengungkapkan, mereka gelisah dengan statusnya, mengingat ada kebijakan pemerintah bahwa hanya mempekerjakan ASN dan P3K.
“Makanya saya mengundang mereka dulu untuk menenangkannya bahwa pemerintah masih mencari solusi dulu. Apa yang diupayakan pemerintah tidak ada PHK besar-besaran,” jelasnya.
Perempuan yang akrab dipanggil Mbak Tari ini menambahkan, DPRD menunggu aturan atau payung hukum dari pemerintah pusat. DPRD dan Pemprov Jatim tidak berani membuat regulasi mendahului pemerintah pusat terkait nasib honorer.
“Kita tanya apakah mereka bekerja secara teratur, mereka berkerja Senin-Sabtu. Berarti Pemkab memperkerjakan di instansi, puskesmas atau di keamanan,” tuturnya.
Politisi PDI Perjuangan itu menjelaskan, selama ini pekerjaan dan jam kerja honorer rutin, bahkan terkadang harus lembur. Melihat kondisi itu, ia menyayangkan Pemkab Jember tidak ada upaya untuk menjadikan mereka sebagai P3K karena sudah mengabdi puluhan tahun.
“Ini sebenarnya pembiaran seperti bom waktu. Seharusnya pemerintah turun ke bawah kalau memang faktanya tetap dibutuhkan, mau tidak mau pilihannya minimal P3K. Namun harus ada mekanisme dan persyaratan yang harus disampaikan,” terangnya.
Mbak Tari juga menjelaskan, jika memang pemkab memang tidak membutuhkan tenaga honorer harus ada pendekatan dan solusi. Tenaga honorer sendiri berharap agar yang diutamakan direkrut menjadi P3K atau ASN, tenaga yang sudah bekerja puluhan tahun.
“Jangan sampai yang baru bekerja diterima, sementara yang lama tidak ada kejelasan atau justru di-PHK,” terangnya.
Menurutnya, secara hak asasi manusia dan Undang-Undang Dasar, setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun pengalaman kerja bisa menjadi pertimbangan untuk menjadi P3K atau ASN, sedangkan mekanisme tes harus tetap dilalui, karena pemerintah mempunyai aturan.
“Ada laporan di bawah, tapi tidak semua. Pekerja lama mengaku ada kejenuhan. Laporan-laporan dari masyarakat juga ada yang komplain soal pelayanan perawat. Itu bisa jadi catatan. Maka tes menjadi ukuran apakah layak menjadi abdi masyarakat atau tidak,” ucapnya.
Anggota Komisi A DPRD Jatim itu menegaskan, jika rekrutmen dipaksakan, maka pegawai bekerja tidak sesuai bidangnya, dan tidak akan maksimal pelaksanaannya. Pegawai akan mendapatkan kesejahteraan, namun Mbak Tari menilai pemerintah wajar mengharapkan kinerja yang mumpuni.
“Memang tidak dipungkiri tenaga honorer membeludak karena beberapa tahun sebelumnya sebagian tenaga tersebut titipan salah satu pejabat. Misalnya pejabat ini titip saudaranya, meski tidak ada peluang, akhirnya disesal-sesalkan,” paparnya.
Mbak Tari menyebut tenaga honorer yang dulunya titipan, bisa saja tidak memenuhi persyaratan ketika dilakukan seleksi, karena keterbatasan bidang yang dibutuhkan. Maka, ia menilai sangat wajar ketika pemerintah menyeleksi.
“Pemerintah menghendaki yang terbaik itu wajar. Di swasta pun ada seleksi,” pungkasnya. (alfian/set)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS