Persoalan poligami atau lebih tepatnya poligini menjadi perdebatan yang tiada habisnya. Poligami menjadi isu paling krusial dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Ada kelompok yang bertahan pada anggapan, poligami diperbolehkan karena mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW (selanjutnya disebut Nabi). Ada kelompok yang berpendapat boleh berpoligami asal memenuhi beberapa syarat. Salah satunya memiliki rasa keadilan. Ada juga kelompok yang berpendapat, agama Islam tidak mengajarkan poligami, karena poligami merupakan perilaku di zaman jahiliyah.
Semua kelompok memiliki argumen yang didasarkan pada ayat Al-Qur’an. Meski berdasar ayat yang sama, jika memiliki penafsiran dan persepsi yang berbeda, maka akan memiliki perbedaan persepsi dan argumen yang beragam pula. Satu pihak menganggap perlu dan penting, sementara pihak yang lain menganggap tak perlu karena menciptakan keresahan dan kekacauan dalam rumah tangga.
Nabi sendiri mencontohkan. Istri pertamanya, Sayyidah Khadijah, tidak dipoligami sepanjang hidupnya. Beliau baru menikah lebih dari sekali, setelah Sayyidah Khadijah wafat. Poligami Nabi tidak didorong oleh kebutuhan biologis beliau. Tidak ada seorang ulama pun berpendapat demikian. Andai kata Nabi memiliki hasrat seksual yang kuat, niscaya beliau akan melakukannya sejak menikah dengan Sayyidah Khadijah.
Sepeninggal istri pertama, Nabi menikah dengan perempuan-perempuan yang lanjut usia, berstatus janda, dan dalam keadaan dilemahkan. Istri-istri Nabi pada umumnya para janda dari tokoh-tokoh terpandang di tanah Arab, yang pernah memusuhi dan memimpin gerakan untuk menyakiti Nabi dan para sahabatnya yang masuk Islam. Di satu sisi istri-istri Nabi adalah orang yang terpandang dan cerdas dan memiliki pengaruh di antara pendukungnya. Sehingga bisa dikatakan perkawinan dengan para janda berpengaruh tersebut sebenarnya lebih pada untuk meredam perbedaan politik.
Sebutlah Juwariyah binti Al-Harits. Ayahnya dan golongannya termasuk yang memerangi jalan dakwah Nabi dan membantu kaum musyrik dalam perang Uhud. Ketika Juwariyah menjadi istri Nabi, orang yang memusuhi dakwah Nabi berbondong-bondong masuk Islam. Itu menunjukkan betapa besar pengaruh Juwariyah di kaumnya.
Masih banyak contoh, bagaimana Nabi menikahi perempuan-perempuan bukan hanya persoalan biologis, akan tetapi juga untuk memperluas jalan dakwah dengan damai. Perempuan-perempuan yang dinikahi Nabi memiliki posisi yang strategis di masyarakatnya. Mereka adalah perempuan-perempuan terkemuka, cerdas, terhormat, anak tokoh terkemuka, dan janda para pahlawan. Posisi mereka menjadi penting bagi Nabi karena dapat menyampaikan ajaran-ajaran kepada kaumnya.
Poligami memiliki dua wilayah: publik dan privat. Selama perkawinan poligami merupakan pilihan pribadi untuk menikmati kehidupan seksual dan pihak perempuan menerimanya, maka ia masuk ke wilayah privat. Sepanjang di dalam perkawinan poligami tersebut tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun psikis, maka poligami bergantung pada masyarakat dan pertimbangan nurani sendiri.
Tetapi, ketika di dalam poligami tersebut terjadi kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun psikis, termasuk penelantaran ekonomi, maka poligami tersebut tergolong dalam wilayah publik dan bisa dipidanakan.
Menurut hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, pada suatu peristiwa, Nabi mengetahui bahwa putri tercintanya, Sayyidah Fathimah hendak dipoligami oleh suaminya, Ali bin Abi Thalib. Nabi segera naik ke mimbar dan berpidato di hadapan para sahabat, “Bahwa Bani Hasyim meminta agar aku berkenan meluluskan permintaan mereka mengawinkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak mengizinkan kecuali jika Ali bin Abi Thalib menceraikan anakku dan kemudian menikahi anak perempuan mereka. Kalian tentu mengetahui bahwa anak perempuanku adalah bagian dari dariku. Maka keresahannya adalah keresahanku juga, dan perasaan sakitnya adalah sakitku juga.“
Peristiwa tersebut ingin menegaskan, bahwa Nabi memahami tidak semua perempuan bersedia untuk dipoligami, termasuk yang akan dilakukan menantunya terhadap putri kesayangannya. Selain itu, sikap Nabi merupakan representasi dari perempuan yang tidak bersedia dipoligami. Artinya, poligami yang dilakukan Nabi tidak serta merta menjadi rujukan umatnya. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS