Rabu
04 Desember 2024 | 4 : 34

Mencegah Perundungan dengan Literasi

Siti Fatimah

Peristiwa perundungan akhir-akhir ini masih saja marak terjadi. Anak menyakiti temannya, baik dilakukan sendiri, kadang juga dilakukan secara keroyokan. Perundungan yang sebelumnya lebih dikenal dengan istilah bullying, istilah yang pertama muncul berasal dari bahasa Inggris yang artinya bull atau banteng yang senang menyeruduk ke sana-ke mari.

Dalam bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bisa menggunakan menyakat (berasal dari kata sakat) dan pelakunya (bully) disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain (Wiyani, 2014).

Dan korban dari perundungan ini biasanya orang yang lemah, miskin, dan memiliki sesuatu yang menurut mereka layak untuk dijadikan bahan ejekan, guyonan, dan olokan. Padahal jika kita telaah dari berbagai penelitian dan informasi mengenai perundungan ini tidak ada baik-baiknya, bahkan akan menjadi luka mendalam yang akan ditanggung seumur hidup jika tidak diputuskan mata rantainya.

Pengalaman seorang kawan di masa kecilnya dirundung oleh teman sepermainannya, hanya karena dia berasal dari suku minoritas di tanah Jawa dan masyarakat urban, miskin pula. Setiap bermain dia menjadi bulan-bulanan dan dijadikan yang selalu kalah, sering diolok-olok karena kesukuannya tersebut. Setelah beranjak dewasa dia menutupi dirinya, tentang asal-usulnya, bahkan mengingkari. Hingga akhirnya kawan ini menjadi orang yang berhasil.

Dia menengadahkan pandangan atas keberhasilannya, hingga orang lain yang selama ini merundungnya menundukkan pandangannya karena malu. Bagi seorang kawan ini, peristiwa perundungan di masa lalu membekas dan menyakitkan, hingga membunuh karakter. Dan bersyukurnya sang kawan ini segera bangkit menunjukkan kemampuannya, hingga tak ada lagi yang memandang rendah dirinya.

Perundungan, bagaimanapun membuahkan dampak yang menyakitkan. Anak akan tersakiti bukan hanya fisik tetapi juga mempengaruhi secara psikis, bahkan pada pembunuhan karakter yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Students Assessment (PISA) menemukan bahwa murid Indonesia menjadi korban perundungan tertinggi kelima di dunia sebesar 41,1% lebih banyak jika dibanding dengan Jordan (38%) dan lebih sedikit jika dibanding dengan Maroko (43,8%). Urutan pertama didominasi oleh Filipina sebesar 64,9%, disusul oleh Brunai Darussalam sebagai runner up sebesar 50,1% dan urutan ketiga diduduki oleh Republik Dominika sebesar 43,9%. (katadata.co.id, 2019).

Penelitian lain yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APIJII) menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang mengalami cyberbullying yaitu sebesar 49% dari jumlah responden 5.900 yang diambil dari seluruh penjuru Indonesia. Survey ini diselenggarakan pada tanggal 9 Maret hingga 14 April 2019 bekerjasama dengan Polling Indonesia (katadata.co.id., 2019).

Melihat hal tersebut, tentu kita miris. Tapi kita perlu adanya tindakan positif untuk menyelamatkan anak bangsa dari korban perisakan atau perundungan, baik secara maya ataupun secara nyata. Dampak keduanya sama-sama membahayakan. Memutus mata rantai kekerasan perundungan ini merupakan tanggung jawab kita bersama, dari berbagai pihak terkait.

Hal paling awal dimulai dari pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini berasal dari lingkungan terdekat seperti keluarga/ rumah, pendidikan di sekolah dan lingkungan sekitar. Keluarga sebagai awal anak mendapatkan pendidikan karakter. Apa yang diterapkan dan didapatkan di keluarga itulah yang dicontoh dan diterapkan di luar lingkungannya. Bahkan ditengarai pelaku perundungan dalam tindakannya mencontoh kekerasan yang sering dilakukan di lingkungan keluarga/ rumah. 

Sekolah juga perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak dalam mendapatkan pendidikan karakter. Civitas sekolah perlu juga menunjang dalam memutus mata rantai perundungan ini, baik dari pembelajaran di luar maupun di dalam kelas, dalam menciptakan pembelajaran, apalagi di pendidikan dasar.

Penyediaan informasi yang positif akan meningkatkan pendidikan karakter yang positif pula. Perpustakaan sebagai bagian dari lingkungan pendidikan juga mempunyai peranan penting dalam pembentukan pendidikan karakter. Sediakanlah informasi-informasi positif yang dapat membangun pendidikan karakter. Sudah banyak penulis yang menerbitkan karyanya, tetapi menurut saya masih kurang kontrol dalam menyeleksi tulisan-tulisan tersebut.

Mengapa demikian? Sebab seringkali penulis menggunakan bahasa yang vulgar atau kasar dalam menggambarkan kekerasan, meskipun ending atau hasil akhirnya untuk pendidikan karakter juga. Saya rasa perlu mengubah redaksi atau diksi dalam penyampaian informasi atau cerita kepada anak didik. Di dalam buku legenda atau cerita rakyat yang sering tervisualisasi bentuk kekerasannya, saya rasa ini yang perlu diubah tanpa mengubah alur cerita.

Bagi saya, sebagai pegiat literasi, memberikan informasi positif harus dengan cara positif pula. Sebisa mungkin, sumber–sumber informasi yang positif disampaikan dengan positif pula. Keluarga/rumah, lingkungan pendidikan, termasuk perpustakaan sebagai pusat sumber belajar, dan lingkungan sekitar adalah awal anak mengenal pendidikan karakter.

Orang tua atau guru perlu berhati-hati dalam berucap dan bertindak. Apa yang dianggap hal biasa, tetapi bagi yang lain itu bisa dianggap menyakiti/ bullying. Tayangan yang ada di media elektronik, televisi misalnya, sudah harus menawarkan tayangan yang mendidik, mengurangi tayangan yang banyak mengandung unsur kekerasan.

Selain itu, perlu ada ruang komunikasi antara orang tua dan guru, ataupun lingkungan dengan korban perundungan. Pelaku perundungan pun juga perlu ditangani secara positif pula, sebab pelaku akan menjadi korban perundungan pada lain kesempatan jika penanganannya keliru.

Dengan peran para psikolog yang memiliki metode yang baik dalam membaca kejiwaan anak dengan metode menulis, menggambar, wawancara, dan pendekatan personal dalam menggambarkan kejiwaan anak- anak, dapat membantu sekolah, guru konseling, dan orang tua menyelamatkan anak-anak mereka dari bullying. Dengan demikian perundungan yang terjadi akan terputus, hingga pada akhirnya generasi yang ada sebagai generasi yang berkarakter. Bukankah agama memerintahkan untuk tidak meninggalkan generasi lemah di belakang kita? (*)

https://pdiperjuangan-jatim.com/category/ruang-merah/

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

LEGISLATIF

Puan Lantik Tim Pengawas Intelijen DPR, Ini Tugasnya

JAKARTA – Ketua DPR RI Puan Maharani melantik Tim Pengawas Intelijen yang dibentuk DPR. Tim ini merupakan ...
LEGISLATIF

Novita Hardini Dorong Solusi Terobosan untuk Standarisasi Produk UMKM

JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengatasi tantangan ...
PEMILU

Yes – Dirham Menang Quick Count, Husen: Hasil Kolaborasi Kader dan Rakyat Lamongan

LAMONGAN – Pasangan Yuhronur Efendi dan Dirham Akbar Aksara (Yes-Dirham) dipastikan memenangkan Pilkada Lamongan ...
LEGISLATIF

Bersama Anggota Komisi C, Legislator Banteng Jember Ini Hadang Truk Bermuatan Lebih

JEMBER – Anggota fraksi PDI Perjuangan Edy Cahyo Purnomo bersama anggota Komisi C DPRD Kabupaten Jember menghadang ...
KABAR CABANG

Surabaya Tetap Kandang Banteng, Adi: Terima Kasih Sudah Mendukung Risma-Gus Hans dan ErJi

SURABAYA – Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya Adi Sutarwijono mengatakan, pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur ...
LEGISLATIF

Belanja APBD Lamongan 2025 Capai Rp 3,27 T, Fraksi Minta Pemkab Serius Cegah Pelajar Putus Sekolah

LAMONGAN – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten ...