(Catatan Bersama Mahfud, S. Ag.)
Pertengahan tahun 2021, pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda segera usai. Lonjakan kasus terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur. Kegiatan masyarakat kembali dibatasi. Keluar-masuk daerah tertentu harus menunjukkan surat sehat. Pun pagelaran kerapan sapi. Padahal di bulan Agustus, masyarakat Madura, terutama pecinta kerapan sapi, sudah bersiap-siap dengan piala Presiden. Tapi apa boleh buat, Covid-19 masih tinggi. Kita abaikan sejenak rasa cinta kita pada tradisi. Kita prioritaskan keselamatan.
Akan tetapi, cinta dan semangat para pemilik kerapan sapi tidak pernah surut. Pandemi tidak mampu menghapus derap kaki sapi kerapan di hati para pecintanya. Cinta dan semangat itu itu saya tangkap ketika bertandang ke ruang kerja legislator Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur asal Madura itu, Mahfud, S. Ag. Dia menerima saya di ruang kerjanya di lantai dasar sayap selatan gedung DPRD Jawa Timur. Keramahannya sebagai orang Madura dalam menyambut tamu tampak melumuri kata-katanya. Karakter Madura yang jarang dibicarakan secara antusias.
Pertemuan di bulan Mei itu tidak terlepas dari ketertarikan saya pada sepakterjang Mahfudz di arena kerapan sapi. Mahfudz dikenal sebagai sosok yang dekat dengan para pecinta kerapan sapi. Dengan kewenangannya sebagai anggota dewan, dia telah memperjuangkan perbaikan beberapa lapangan kerapan sapi.
Kami berbincang-bincang kurang lebih dua jam. Dari cerita perjalanan di arena kerapan sapi, dia tampak menghayati dan menikmati betul kecintaannya pada kerapan sapi. Ada tiga topik yang kami perbincangkan secara santai dan jenaka. Pertama, kerapan sapi sebagai tradisi.
Entah sejak kapan kerapan sapi menjadi tradisi masyarakat Madura. Akan tetapi, ingatan sebagian orang sudah begitu lekang: kerapan sapi, ya masyarakat Madura. Sebagai tradisi, sudah seyogyanya masyarakat Madura punya tanggung jawab moral untuk melestarikannya. Jika pada awal kemunculannya kerapan sapi adalah suatu perayaan sehabis panen, maka mencintai dan melestarikan kerapan sapi adalah menjaga semangat untuk bekerja di sawah, di tegal, sebaik-baiknya bekerja. Jika kerapan sapi identik dengan masyarakat Madura, maka mencintai dan melestarikan kerapan sapi adalah menjaga ingatan semua orang untuk tetap mencintai dan mengakui masyarakat Madura.
Gelnn Smith (1989), seorang etnografer Amerika mengungkapkan kerapan sapi menjadi arena terbaik untuk mengetahui kualitas sapi Madura sekaligus menarik perhatian banyak orang untuk merawat sapi secara terarah. Kerapan sapi tidak melulu tentang prestise. Akan tetapi, kerapan sapi juga membawa spirit untuk memperhatikan makhluk dan lingkungan di sekitar kita. Maka, menjaga tradisi kerapan sapi, juga menjaga semangat cinta pada lingkungan.
Kedua, industri kerapan sapi. Ada penggalan cerita Mahfudz yang cukup menarik tentang industri kerapan sapi. Dirinya sempat ogah untuk bergelut dengan kerapan sapi. Penyebabnya, banyak kong-kalingkong dalam penyelenggaraannya. Orang-orang “besar” selalu merekayasa pemenangnya. Akan tetapi, perbaikan sistem penyelenggaraan, seperti penggunaan lampu di garis start, durasi penyelenggaraan yang lebih efektif dan efisien, membuat semangatnya kembali menyala. Dengan sistem yang lebih fair dan sportif semua orang punya kesempatan yang sama untuk memenangkan kerapan sapi. Semua orang punya hak yang sama untuk menikmati rasa cintanya pada sapi kerapan.
Hal lain yang patut digarisbawahi dari perjalanan Mas Mahfud menggeluti kerapan sapi, gagasannya untuk mengintegrasikan antara lapangan kerapan sapi dan pasar tradisional di sekitarnya. Penyelenggaraan kerapan sapi melibatkan banyak pihak. Perputaran uang di arena kerapan sapi cukup besar. Jika semua potensi itu dikelola dengan baik, maka kerapan sapi akan menjadi industri yang menggerakkan perekomian masyarakat setempat.
Di arena kerapan sapi, selain dipenuhi para pemilik sapi, crew, dan penonton, juga tampak masyarakat sekitar yang ambil bagian. Mereka berjualan rujak, soto, gorengan, nasi, dan lainnya. Mereka rata-rata pada menjual makanan yang diolah dari hasil pertaniannya. Bukan jajan yang wah-wah. Karena itu, Mahfud mencoba menyatukan lapangan kerapan sapi dan pasar tradisional. Hasilnya, perekonomian di sekitar kerapan sapi berjalan lancar. Karena hampir setiap minggu, kadang-kadang satu minggu tiga kali, para pemilik sapi nyoba sapinya. Nah, jika satu rombongan yang nyoba beranggotakan 10 orang, maka bisa dipastikan gerak ekonomi akan berjalan dinamis dan maju.
Gerak Budaya, Konsolidasi Politik
Ketiga, kerapan sapi sebagai konsolidasi politik. Mungkin kita harus bersepakat, menjadi politisi adalah menjadi manusia universal. Seorang politisi adalah seorang seniman atas ide-idenya, harapannya, dan cita-citanya untuk disampaikan, diyakinkan, dan diwujudkan di tengah masyarakat. Sebagai seniman yang universal, politisi harus bisa diterima, baik oleh mereka yang menyukainya maupun yang tidak menyukainya; politisi harus bisa menerima, baik mereka yang menjadi pendukung gagasannya maupun mereka yang mempertanyakan perjuangannya.
Maka, menggeluti kerapan sapi menjadi jalan untuk menjadi universal. Di arena kerapan sapi, Mahfud bertemu banyak orang: pemilik sapi kerapan, joki, penjual rujak, penonton, panitia, dan lainnya. Mahfud juga bertemu dengan orang-orang yang antusias dengan kerapan sapi dan orang-orang yang mencibir kerapan sapi. Sebagai seorang wakil rakyat, Mahfud tidak bisa hitam putih. Dia punya tanggung jawab moral untuk mendengarkan semua pihak. Di sinilah, sikap keuniversalan seorang politisi akan menentukan arah konsolidasi politiknya.
Jika dalam beberapa pertemuan Sekjen Hasto Kristiyanto menegaskan kebudayaan sebagai jalan politik, maka dalam hal ini, Mahfud telah mampu menerjemahkannya dalam konsolidasi di kalangan para pecinta kerapan sapi. Dengan keluwesannya, Mahfud tidak hanya bisa diterima. Akan tetapi, Mahfud juga mampu meyakinkan mereka, bahwa politik itu bukan sekadar kekuasaan. Politik itu adalah keberpihakan, perjuangan, dan rasa terima kasih atas segala jerih payah mewujudkan kesejahteraan bersama.
Tak pelak, kerja dan konsolidasi politik Mahfudz di arena kerapan sapi membuat dirinya dan PDI Perjuangan bisa diterima dengan tangan terbuka oleh para pecinta kerapan sapi. Bahkan, Moncong Putih -nama sapi kerapannya- telah menjadi cerita yang begitu akrab di antara pecinta kerapan sapi dalam setiap penyelenggaraan. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS