KUNJUNGAN Ganjar Pranowo ke Surabaya, Sabtu (6/5/2023), bukan sekadar kunjungan biasa. Orang sudah tahu bahwa Gubernur Jawa Tengah ini adalah kandidat presiden yang diusung PDI Perjuangan – juga kemudian beberapa partai lain. Tak ada yang perlu diragukan dan dijelaskan lagi tentu saja.
Kunjungan ke Surabaya ini bukan sosialisasi, bukan kampanye, melainkan peneguhan jati diri dan identitas Ganjar sebagai kader dan penerus ajaran Sukarno. Ini penting, karena kandidat presiden haruslah memahami dan tak boleh lepas dari akar sejarah Bung Karno. Kita semua tahu bahwa Surabaya adalah kota yang penting bagi Bung Karno.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya dari pasangan Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, pada 6 Juni 1901, ketika fajar menyingsing – hingga disebut “Putera Sang Fajar”.
Rupa-rupanya Surabaya memang ditakdirkan lekat dengan sejarah hidup Bung Karno. Setelah sempat menjalani masa kecil di Mojokerto, Sukarno tumbuh di Surabaya dengan menjadi siswa Hogere Burger School (HBS).
Sang ayah juga menitipkannya kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang tinggal di kampung Peneleh. Tjokroaminoto ketika itu adalah pemimpin Sarekat Islam yang beranggotakan 15 juta orang. Di sana, Bung Karno ditempa dalam alam pemikiran dan pergerakan. Dia bertemu dengan banyak tokoh pergerakan yang di kemudian hari begitu mewarnai dinamika perjalanan bangsa.
Dengan latar belakang seperti ini, kunjungan Ganjar ke rumah kelahiran Soekarno adalah bagian untuk merawat jejak sejarah. Kunjungan itu adalah sebuah kunjungan ideologis yang semakin meneguhkan nilai-nilai Marhaenisme pada diri Ganjar. Kunjungan itu menunjukkan konsistensi Ganjar dalam menekuni dan menjiwai ajaran Sukarno.
Agenda pertemuannya dengan pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), warga masyarakat, dan kaum milenial di Balai Pemuda juga bisa dimaknai sebagai pendekatan terhadap tiga komponen yang selalu dihargai oleh nilai-nilai ajaran Bung Karno.
UMKM alias para pedagang kecil adalah simbol dari pejuang yang menghidupkan perekonomian nasional. Mereka adalah para pekerja keras yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan berperan menyelamatkan bangsa ini pada krisis moneter 1998.
Masyarakat atau rakyat adalah wajah dari pemilik demokrasi Indonesia yang sejati. Ganjar sepenuhnya memahami bahwa kemenangan dalam kontestasi elektoral adalah awal dari perjuangan untuk menyejahterakan masyarakat. Sementara itu kaum milenial adalah masa depan bangsa ini, yang sudah sejak lama ditekankan oleh Soekarno: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Kita berharap kunjungan ke Surabaya ini semakin menyadarkan publik, bahwa sosok pemimpin Indonesia tidak boleh lepas dari latar belakang historis yang membentuk bangsa ini. Dan sayup-sayup sampai kita bisa mendengar pesan Bung Karno yang rasanya tepat untuk seorang Ganjar:
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Merdeka! (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS