AKHIR pekan lalu, selepas isya, saya bertemu dengan para pengurus RT, RW dan tokoh-tokoh kampung di Kelurahan Sidosermo, Kecamatan Wonocolo. Di kediaman KH. Mas Achmad Nasrochuddin, Ketua LPMK Sidosermo. Ada sekitar 150-an orang hadir, termasuk ibu-ibu penggerak kegiatan perempuan dan anak di kampung.
Kami Melakukan Curah Pendapat Seputar Pembangunan di Kampung
Sidosermo, atau disebut Ndresmo, adalah kampung tua dalam sejarah peradaban Surabaya. Titik penting dalam penyebaran Islam dengan kultur pesantren yang kuat. Sekarang kampung itu menjadi salah satu destinasi wisata religi di kota ini. Ada makam Sayyid Ali Akbar Basyaiban dan Sayyid Ali Asghor, ulama Ndresmo yang berpengaruh. Banyak peziarah datang dari berbagai daerah.
Malam itu, dalam pertemuan, muncul aspirasi para pengurus kampung tentang pembenahan selokan air, lampu penerangan jalan, tempat wudu di musala, kebutuhan sound sistem untuk jemaah pengajian, tikar, bak sampah dan gerobak dorong, pavingisasi jalan dan pembangunan Balai RW. Ada juga BPJS yang diblokir.
Pertemuan berlangsung gayeng. Dalam pengantar, Ketua LPMK meminta warga masyarakat mengeluarkan uneg-unegnya. “Mumpung kita ketemu Mas Adi, Ketua DPRD Kota Surabaya. Kita bertemu wakil rakyat,” ujar Nasrochuddin. Saya ditemani Tato Sapto Winahyu, Ketua PAC PDI Perjuangan Kecamatan Wonocolo.
Surabaya, Dapur Nasionalisme
Persoalan-persoalan kampung hadir ketika Kota Surabaya berusia 730 tahun, 31 Mei 2023. Usia yang sangat tua. Menurut catatan Pemkot Surabaya, usia setua itu dihitung sejak pasukan Raden Wijaya mengusir tentara Tartar, yang melahirkan Kerajaan Majapahit. Begitu banyak catatan sejarah pada Surabaya, kota yang di masa lalu disebut Bung Karno sebagai “dapur nasionalisme” Indonesia.
Di Surabaya ini, Bung Karno lahir 6 Juni 1901. Di rumah kecil, kampung Pandean Gang 4 No. 40. Putra Sang Fajar itu menyebut dirinya arek Suroboyo, dengan kultur yang egaliter dan blak-blakan. Ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Jalan Peneleh Gang 7, terjadi pembentukan gagasan nasionalisme dari Soekarno. Di situlah ia belajar pergerakan politik dari Pak Tjokro, pemimpin Sarikat Islam. Dan, berinteraksi dengan tokoh-tokoh gerakan lain dari berbagai aliran ideologi.
Perjumpaan dengan penderitaan rakyat jelata, kaum marhaen, akibat penjajahan Belanda, telah mengobarkan api perjuangan Soekarno sekaligus menggagas tatanan masyarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Masyarakat yang bebas dari belenggu kolonialisme dan feodalisme, di mana semua warga negara diperlakukan sama sederajat di depan hukum. Dan, menyusun cita-cita masa depan, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Membebaskan dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Surabaya mempunyai arti sangat penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia, dalam pergerakan dan revolusi kemerdekaan negara ini. Setiap tahun dikenang kepahlawanan arek-arek Suroboyo dalam pertempuran hebat 10 Nopember 1945. Didahului Resolusi Jihad, yang diserukan Rais Akbar PBNU, KH Hasyim Asyari, bersama para ulama di kantor NU di kampung Bubutan. Di Surabaya pula, komandan militer Inggris, Brigjen Mallaby, tewas di dekat Jembatan Merah.
Kampung, Soko Guru Peradaban Kota
Dalam perkembangan, Surabaya tumbuh sebagai kota metropolitan. Dipimpin duet Wali Kota Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji, Surabaya telah mencapai banyak lompatan. Setelah pandemi Covid-19, ekonomi tahun lalu tumbuh 6,51 persen, menurut dokumen LKPj wali kota. Ekonomi tumbuh bergairah. Bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa.
Ekonomi kerakyatan terus digenjot agar bisa hidup berdampingan dan sinergis dengan sektor ekonomi modern. Sektor UMKM menjadi primadona. Sekitar 40 persen dari belanja barang dan jasa pada APBD Surabaya, atau sekitar Rp 3 triliun, dibelanjakan untuk UMKM. Pelayanan publik pun didekatkan ke masyarakat. Balai RW di kampung-kampung direhab menjadi tempat pelayanan.
Surabaya telah tumbuh multikultural. Berbagi macam warga masyarakat singgah dan bertempat tinggal di Surabaya. Membangun keluarga dan menata masa depan cemerlang. Berbagai suku, agama, ras, dan etnis hidup dan eksis di kota ini. Seperti miniatur Indonesia. Surabaya menjadi “rumah bersama” yang nyaman dan aman, dan terus bergerak dalam kemajuan peradaban kota. Masyarakat hidup berdampingan dan bekerja sama.
Pemerintahan pun mendapat dukungan partisipasi publik yang luar biasa. Dengan APBD 2023 sebesar Rp11,2 triliun, Surabaya terus berbenah. Meningkatkan daya beli masyarakat dan menumbuhkan terus perekonomian kota. Dua tahun kota ini dilanda pandemi Covid-19, kini terus dilakukan recovery. Mengentas kemiskinan, mengatasi pengangguran, dan terus membenahi infrastruktur.
Di tengah berbagai kemajuan, Surabaya terus mengembangkan jati dirinya. Yakni, tumbuh sebagai kota besar berbasis kampung, yang bercirikan pemukiman padat dan rapat. Kampung adalah soko guru, penyangga utama, sejarah peradaban kota ini yang selalu dirawat dan dihidupi. Di kampung-kampung, rakyat duduk bersama. Berembuk dan menggerakkan gotong royong. Untuk terus membenahi dan mempercantik lingkungan.
Dirgahayu Kota Surabaya, ke-730! Maju Kotane, Mekar Kampunge.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS