Oleh Dr. Aries Harianto*
MENGOMUNIKASIKAN filsafat tak semudah menyajikan secangkir kopi. Meskipun nikmat dan guna filsafat melebihi kopi. Betapa tidak. Kopi dapat menghangatkan interaksi, menghidupkan diskusi, memudahkan kompromi, meluluhkan emosi, membangun harmoni hingga merindu untuk ngopi kembali.
Dalam konteks penikmat kopi, filsafat memang bukan proses membuat kopi. Namun demikian, filsafat menentukan manfaat kopi disajikan. Filsafat mewujud dalam giat pikiran menentukan jenis kopi yang pas dinikmati, berapa sendok mempengaruhi kepekatan, pilihan gula, volume cangkir, cara mengaduk, teknik menyuguhkan dan berapa menit rasa ideal harus mulai diminum.
Ilustrasi kopi di atas merupakan penegasan bahwa setiap output tidak lepas dari pemikiran. Setiap kebijakan butuh dasar alasan. Mengeluarkan keputusan perlu perencanaan. Mewujudkan aksi perlu akurasi. Bahkan terhadap realitas, penting re-evaluasi. Inilah gambaran sederhana kinerja filsafat.
Banyak orang salah paham terhadap filsafat. Tak heran, jika kata tersebut tak pernah menjadi topik diskusi. Seolah filsafat menjadi kaveling segmented. Monopoli golongan tertentu. Dibicarakan terbatas di lingkungan perguruan tinggi dan para pemikir karena dipandang tak pernah membumi. Bahkan siapapun yang mendekati filsafat identik dengan ketidakwarasan.
Konon, filsafat adalah ‘dunia makrifat’. Tidak memiliki urgensi fungsional untuk dimasuki. Tidak seksi menjadi komoditas industri. Hanya ada di angan dan melayang di awang-awang. Di awang-awang berarti tinggi tak bisa dijangkau kognisi. Sebatas imajinasi. Mungkin cenderung halusinasi. Rumit. Tak bisa dipahami.
Tentu saja hal itu merupakan pandangan yang tidak saja keliru, tapi sesat dan menyesatkan. Filsafat memang tidak pernah membumi. Bukan entitas material inderawi. Filsafat adalah alat sekaligus rumus berpikir. Tidak kasat mata. Di dalamnya mengandung haluan berlogika. Dibututuhkan dalam upaya melahirkan proposisi sebagai akar memotret peristiwa, melandasi proyeksi, penguatan akar kebijakan, merawat kearifan, menumbuhkembangkan akal budi, mengeksplorasi landasan etis dan membaca secara kritis.
Filsafat mempertanyakan realitas manusia secara mendasar. Filsafat adalah ilmu yang mendekati ragam persoalan secara prinsip dan mendasar. Karenanya, filsafat sering memberikan kesan abstrak dan amat teoritis. Kesan semacam itu tidak bisa dihindari.
Perlu diketahui, filsafat bukanlah ilmu bagi dirinya sendiri. Manusia berfilsafat karena mereka membutuhkannya. Mengharap sesuatu daripadanya. Filsafat merupakan sarana manusia, termasuk juga pembaca artikel ini untuk mencapai kejelasan terhadap problem dan tantangan dalam segala dimensi kehidupan.
Melalui alat yang namanya filsafat, manusia bisa mengambil sikap atas perdebatan antara kepastian hukum dan keadilan; mampu menilai, apakah hukuman mati tepat di negara Pancasila; dapat menentukan sikap, apakah eutanasia itu konstitusional atau sebaliknya terhadap konsensus nasional; mendalami secara eksploratoris, benarkah Marx anti Tuhan; tepatkah Pancasila dikatakan Sakti? Benarkah Pancasila asli dari bumi pertiwi?
Dengan alat filsafat pula lahir berbagai refleksi berupa pertanyaan: mungkinkah hukum lingkungan masa depan memposisikan pohon dan sungai sebagai subjek hukum? Sudah tepatkah para guru dan dosen melatih murid dan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan dengan benar, ataukah sebaliknya, tugas dalam kelas justru mengajari mereka untuk bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, prinsip dan mendasar?
Teropong filsafat juga bisa digunakan mengevaluasi, sudah tepatkah hakim sebagai pelayan keadilan melakukan mogok kerja? Padahal mogok kerja hakim merupakan fakta menunda keadilan. Sementara keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri.
Melalui filsafat orang akan mencari landasan yang masuk akal sebelum vokal mengumbar daya kritisnya. Dengan filsafat pula, tidak akan terjadi saling silang emosional dalam group Whatsapp jelang pilkada atas paslonku dan paslonmu. Demokrasi akan berjalan riang gembira. Masing-masing timses tidak berlomba membuka aurat paslon. Semua fokus pada program, rencana tata kelola yang visioner.
Dialog muncul berbasis argumen, bukan sentimen. Semua orang dengan kapasitasnya akan percaya diri mengekpresikan pendapat, bebas berkomentar menyanggah lawan bicara dengan senyum canda tawa. Tanpa emosi apalagi amarah yang cenderung kekanakan dan terkesan pemula.
Sungguh filsafat memberikan kontribusi akan kedewasaan berdemokrasi. Filsafat bukan soal benar / salah, namun cenderung memberikan kisi-kisi konstruksi berpikir dengan kebebasan menggunakan variabel yang dikemas dalam ragam perspektif. Kedewasaan berpikir ditentukan sejauhmana orang berpikir filsafat untuk menguliti sebuah problema dan produk. Melalui kepiawaian berpikir filsafat, orang akan diajuhkan dari ideologi ‘pokok’e. Diselamatkan dari egosentris mencari pembenaran diri.
Berkat filsafat pula, orang akan mengkritisi, benarkah Fox Populi Fox Dei (suara banyak orang identik dengan suara Tuhan). Bisa menguji sudah tepatkah kredo ‘tidak ada lawan dan kawan dalam berpolitik, yang ada hanya kepentingan abadi’.
Berpikir Filsafat adalah aktifitas nalar berbasis logika. Mengangkat ontologis multi tematis. Membidani epistem guna mengemukakan diskursus dalam jalinan dialektika sistemik. Detail dan komprehensif. Melahirkan beragam teks baru sebagai hasil perenungan. Diakomodasikan untuk memperkaya pengambilan keputusan. Tentu saja semuanya digagas dalam upaya memanusiakan manusia dari berbagai aspeknya.
Berpikir filsafat tak lebih merawat atmosfir kearifan agar setiap benturan pemikiran anak bangsa berada dalam kehangatan yang bermartabat. Nalar yang logis, lepas dan terjaga konsistensinya agar tidak terhisap pada ekstra logika. Lepas dari pengaruh berbagai faktor dan kepentingan yang acapkali menjebak.
Filsafat itu alat. Wahana konstruksi berpikir. Sebagai disiplin sistemik, setiap mengkaji persoalan. Filsafat selalu menanamkan sistematika ketat tentang : bicara apa (ontologis), ada problem apa, bagaimana cara menjawab dan apa jawabnya (axiologis), serta apa manfaatnya. Dengan kerangka berpikir demikian orang akan memposisikan diri pada kendali, fokus, cermat dan akurat berpikir.
Atas dasar pandangan filsafat, orang akan bicara nilai yang berorientasi manfaat guna membangun harkat martabat. Nalar ketemu nalar yang memandang bahwa alam sekitar dan seisinya tidak pernah absolut. Selalu membuka ruang untuk dikritisi. Keabadian adalah perubahan itu sendiri. Hanya dengan filsafat, orang akan mau dan mampu menyesuaikan dengan keabadian itu sendiri.
Berfilsafat dari setiap konteks persoalan lebih fungsional daripada mendiskusikan teori-teori filsafat yang pada gilirannya membuat orang menjadi etalase referensi tanpa bisa menggunakan guna meringankan hidupnya.
Ayo berselancar dengan filsafat guna bersahabat dengan gelombang lautan yang terus meninggi. (*)
*Penulis adalah kolumnis, akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Ketua Dewan Pakar ICMI Jember dan Mediator Berlisensi Mahkamah Agung
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS