JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menegaskan, sejak kelahirannya Pancasila tidak pernah bermusuhan dengan agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Bahkan sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila merupakan sinergi dan sintesis antara agama dan nasionalisme.
“Karena itu, saya tidak sependapat dengan pernyataan baik per orangan maupun kelembagaan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,” tandas Basarah, Kamis (13/2/2020) menanggapi pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Yudian Wahyudi.
Basarah menduga kuat bahwa pernyataan Prof. Yudian yang dikutip media menjadi “musuh terbesar Pancasila adalah agama” tidaklah dimaksudkan dalam arti agama-agama apapun yang diakui di Indonesia.
Jika berita soal ini dibaca secara utuh, lanjut Basarah, apa yang dimaksud ‘agama’ dalam pernyataan Prof. Yudian itu menunjuk pada “kelompok agama” yang dalam semangat perjuangan politiknya ingin mereduksi Pancasila.
“Namun, karena pernyataan tersebut sudah beredar luas di masyarakat dan dikhawatirkan menimbulkan salah paham bahwa Pancasila bertentangan dengan agama, maka menjadi tugas kita bersama menjernihkan kesalahpahaman bahwa Pancasila bertentangan dengan agama. Dalam Pancasila justru terkandung nilai-nilai agama-agama dan Ketuhanan yang hidup di Indonesia,” papar Ketua DPP PDI Perjuangan ini.
Menurutnya, apa yang harus ditekankan saat ini adalah bahwa kelima sila dalam Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama apapun agamanya. Bahkan dalam batas-batas tertentu kelima sila itu justru menjadi peneguh dari ajaran agama-agama dan nilai-nilai Ketuhanan yang diakui di Indonesia.
“Mari kita rujuk pada sejarah pembentukan Pancasila oleh para pendiri bangsa. Bung Karno sebagai anggota sidang BPUPK, dalam pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila senantiasa mengikutsertakan nilai-nilai Ketuhanan, termasuk saat menggali sila-sila Pancasila itu sejak awal,” tandas Basarah.
Doktor bidang hukum dari Univeristas Diponegoro Semarang ini mengajak semua pihak untuk merujuk kembali literatur pemikiran Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya dalam berbagai dimensi, mulai dari ideologi, sosial, politik, ekonomi, hingga kebudayaan yang kesemuanya membuktikan tidak pernah melepaskan dimensi pemikirannya dari unsur-unsur Ketuhanan.
“Karena itu, tak mungkin Pancasila jauh dari dimensi nilai-nilai Ketuhanan, apalagi dipersepsikan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama,” ujarnya.
Jejak sejarah bahwa Bung Karno juga melakukan sintesa antara Islam dan nasionalisme bisa ditemukan dalam sejarah pembentukan Pancasila ketika atas inisiatifnya sendiri, Presiden Pertama Republik Indonesia itu mengubah Panitia Delapan menjadi Panitia Sembilan yang kemudian melahirkan naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Dari peristiwa pembentukan Panitia Sembilan tersebut terlihat jelas penghormatan Bung Karno terhadap kepentingan golongan Islam dan selalu ingin menjadi jembatan serta menjaga harmoni dan persatuan antara Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan.
“Piagam Jakarta itu justru pada awalnya lahir atas inisiatif pribadi Bung Karno membentuk Panitia Sembilan,” jelas dia.
Saat hendak disahkan pada 18 Agustus 1945, lanjut Basarah, perubahan rumusan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” di dalam Piagam Jakarta menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” justru terjadi akibat hasil ijtihad dan persetujuan para alim ulama bersama para tokoh pendiri negara lainnya waktu itu demi mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan persatuan Indonesia.
Akhirnya, dengan disepakatinya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar pertama negara Indonesia merdeka, jadilah di satu sisi Indonesia sebuah negara yang bukan negara agama (atau negara satu agama), tapi di sisi lain juga bukan negara sekuler yang menyingkirkan sama sekali nilai-nilai agama dan Ketuhanan dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya berharap, dengan penjelasan historis ini menjadi semakin jelas bahwa Pancasila dan agama tidaklah bertentangan. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara merupakan konsensus final yang disepakati para pendiri bangsa bersama para alim ulama dan tokoh-tokoh agama lainnya serta tokoh-tokoh kebangsaan yang telah bersepakat Pancasila sebagai kalimatunsawa atau titik temu di antara berbagai macam kemajemukan bangsa Indonesia,” tandas Dosen Universitas Islam Malang (Unisma) itu.
Dengan demikian, lanjut Basarah, jika usai sidang BPUPK sejumlah tokoh Islam baik dari unsur Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta tokoh-tokoh nasional lainnya sudah menerima Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, mestinya polemik yang membenturkan Pancasila dengan agama tak boleh lagi terjadi.
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sangat mencerminkan nasionalisme Indonesia yang religius dan ini mustahil diperdebatkan lagi.
Dalam konteks inilah, imbuh Basarah, mengapa organisasi Islam Nahdlatul Ulama pada Muktamarnya di Situbondo tahun 1984 menerima dan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final.
Sedang Muhammadiyah menyebut Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah dalam Muktamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan tahun 2015 lalu sebagai penegasan kembali komitmen kebangsaannya.
“Demikian juga dengan ormas-ormas keagamaan lainnya, semuanya telah menerima Pancasila sebagai pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” pungkasnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS