SIDOARJO – Pembuat jenang ketan kewalahan melayani pesanan pada pekan-pekan terakhir Ramadan. Namun sebaliknya, rindu order pasca lebaran hingga tiba Ramadan berikutnya. Sentuhan dari pemerintah begitu diharapkan dari para pelestari jajanan nusantara ini.
***
Istiyah, warga Gedangan, menenteng nampan bersikan lempengan jenang ketan, suatu sore menjelang berakhirnya Ramadhan. Nampan selebar buku tulis itu diberikan kepada tetangga sebelah rumahnya, Rikhe. “Ini untuk incip-incip. Bikin cuma sedikit,” kata Istiyah dalam bahasa dan logat arek khas Sidoarjo-an.
Jenang, bagi masyarakat tradisional Sidoarjo seperti halnya Istiyah, menjadi jajanan wajib yang ada dalam paket wewehan atau hampers pada istilah kekinian. Weweh adalah tradisi yang berlangsung turun temurun, saling berkirim makanan olahan kepada kerabat dan tetangga menjelang lebaran.
Warga Sidoarjo yang bisa membuat jenang tak banyak. Namun, sebagai sebuah tradisi, tak lengkap kiranya berlebaran tanpa hampers dan menghidangkan jenang untuk menyambut tamu lebaran. Solusinya, tentu membeli atau mengorder makanan legit itu seperti dilakukan bu Slamet pada ruang dan waktu yang berbeda.
“Kalau pesan jenang ke siapa ya?” tanya bu Slamet dalam grup aplikasi percakapan sosial, Rumah Perjuangan Sidoarjo belum lama ini.
Pertanyaan tersebut menyusul beredarnya gambar-gambar jajanan tradisional khas lebaran yang disebarkan salah seorang anggota grup, Kusen, beberapa saat sebelumnya.
Kala itu, Kusen menyebar sejumlah foto kue jenang labu dan jenang ketan dalam sebuah nampan. Di bawah foto disertakan pula rincian harga. Jenang labu ukuran nampan besar Rp 170 ribu, tanggung 85 ribu, dan ukuran kecil 45 ribu.
Dihubungi media ini, Kusen mengatakan dirinya sebatas membantu mempromosikan jenang labu dan jenang ketan buatan adiknya, Seger.
Menurut Kusen, jenang buatan sang adik, tak hanya berukuran nampan. Ada juga yang menggunakan ukuran tumbu atau besek dengan harga Rp 10.500.
Saban Ramadan hingga menjelang lebaran seperti ini, ungkap Kusen, adiknya kebanjiran pesanan. Maklum saja, di sebagian masyarakat Sidoarjo, jajanan tradisonal ini tak bisa dipisahkan dengan tradisi masyarakat Jawa dalam menyambut lebaran.
“Hari-hari ini kami kuwalahan. Banyak pesanan,” kata pria yang juga Sekretaris PAC PDI Perjuangan Candi ini.
Padahal, kata Kusen, promosi yang ia lakukan dan adiknya hanya dari mulut ke mulut. “Sesekali saja saya bantu share ke grup-grup aplikasi percakapan sosial seperti ini. Kalau ditanya siapa saja yang pesan, ya dari tetangga, teman, juga kenalan. Pesanan terjauh dari Mojosari (kecamatan di Kabupaten Mojokerto),” katanya.
Resep dan Keahlian Khusus
Tak semua orang bisa membuat jenang labu dan jenang ketan. Ada proses pemilihan bahan yang jika dilakukan sembarangan, rasanya bisa tak karuan. Begitu juga proses memasaknya, ada rangkaian yang tak boleh terlewat tahapannya.
Selama 11 tahun membuat jenang labu dan jenang ketan, Seger boleh dikata kenyang asam garam. Mulai dari pemilihan buah labu sebagai bahan utama, kelapa untuk santan, hingga gula yang digunakan. “Pernah mencoba pakai obat gula (pemanis buatan). Hasilnya jadi mblenyek dan cepat basi,” terang Kusen.
Tak hanya bahan. Dalam proses memasak mulai dari mencampur adonan hingga cara dan durasi pengadukan di wajan, tak boleh dilakukan sembarangan. Dari proses cair, liat, hingga beku, semua ada runutannya.
“Lama pengadukan di wajan 5 sampai 6 jam. Api juga harus dikendalikan. Sekali terlewat, bisa gosong. Pernah pakai bahan bakar gas. Maksudnya biar enak pengaturannya. Tetapi jatuhnya mahal dan aroma tak sekuat jika pakai arang atau kayu bakar,” terang Kusen.
Rindu Order dan Sentuhan Pemerintah
Di hari-hari akhir Ramadhan seperti ini, kata Kusen, dapur rumah Seger tak henti mengepul untuk pembuatan jenang. Pesanan terus berdatangan. Tetapi keadaan menjadi berbalik selepas lebaran.
“Setelah lebaran ya sepi. Pesanan sesekali saja. Paling hanya tetangga dan kerabat, biasanya untuk acara kawinan,” kata Kusen.
Karena itu, lanjut Kusen, adiknya tidak menjadikan usaha jenang labuh dan ketan sebagai tumpuan utama penghasilan rumah tangga. “Buat sambilan saja,” kata dia.
Apalagi, kata Kusen, selama 11 tahun adiknya menggeluti pembuatan jenang, tak ada pembinaan dari pemerintah. Padahal, kata Kusen, pembuat jenang ketan dan jenang labuh seperti adiknya jumlahnya tak sedikit, meski juga tidak bisa dibilang banyak. Sementara peminatnya juga cukup banyak.
“Kalau pembuat jenang dikumpulkan pemerintah, dibina, kan bagus. Kami berharap itu ada. Tapi, didata saja tidak pernah. Padahal yang suka jenang banyak,” pungkas Kusen.
Sementara itu, rencana pengambilan foto proses pembuatan jenang ketan dan jenang labuh di rumah Seger di Desa Durungbedug Kecamatan Candi yang direncanakan reporter dan Kusen tertunda hingga berita diunggah. Pembatalan sesi pemotretan lantaran isteri dari Seger, meninggal dunia pada Sabtu (8/5/2021) seperti dikabarkan Kusen kepada reporter, Selasa (11/12/2021). (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS