NGAWI – Ribuan rumah reyot masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkab Ngawi. Upaya mengentaskan masalah sosial tersebut tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Skema gotong royong menjadi jalan penyelesaian.
Mbah Jumirah, warga Desa Simo, Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi, merupakan salah satu warga yang terpaksa tinggal di rumah reyot. Faktor usia dan ekonomi menjadi penyebab Jumirah harus hidup menghuni bangunan yang kapan saja bisa membahayakan jiwa.
Wakil Bupati Ngawi Dwi Rianto Jatmiko, beberapa waktu lalu, meninjau rumah milik Jumirah. Bersama aparat desa setempat, Wabup Antok melihat langsung kondisi lansia yang segera perlu mendapat perhatian.
Diketahui, Jumirah belum masuk daftar penerima bantuan program bedah rumah dari pemerintah. Oleh karena itu, Wabup Antok mendorong gotong royong partisipatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
“Intinya akan dilaksanakan melalui gotong royong. Dikerjakan secara bersama-sama. Kalau menunggu dianggarkan, keburu ambruk,” kata Wabup Antok.

Rumah Jumirah adalah salah satu potret masalah sosial di Ngawi. Pemkab Ngawi mentargetkan 8.000 unit rumah direhabilitasi hingga 2029. Kegiatan ini akan mulai berjalan tahun depan.
“Targetnya antara 1.000 hingga 1.500 unit rumah tidak layak huni akan diperbaiki setiap tahun,” ujar Wabup Antok, Kamis (7/8/2025).
Pada tahun 2025 ini, Pemkab Ngawi mengalokasikan anggaran Rp20–30 miliar untuk rehabilitasi RTLH. Besaran anggaran disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah daerah.
Tanggung jawab rehab RTLH juga dibebankan kepada pemerintah desa. Dari 213 desa, masing-masing diminta menganggarkan dua unit setiap tahun melalui dana desa.
Wabup Antok, yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Ngawi, menegaskan perlu ada pembagian tanggung jawab yang jelas antara APBD, DD, dan skema gotong royong partisipatif.
“Harus jelas mana tanggung jawab APBD, mana yang bisa ditangani secara gotong royong, terutama rumah yang kondisinya membahayakan,” jelasnya.
Upaya pemda untuk memutus mata rantai RTLH tidak mudah; kendala teknis di lapangan masih sering muncul, seperti warga miskin ekstrim yang belum memiliki KTP hingga status kepemilikan lahan. (and/hs)