SURABAYA — Anggota Komisi VI DPR RI, Budi Sulistyono, alias Kanang, menyoroti beban operasional yang ditanggung PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI.
Menurutnya, kondisi keuangan perusahaan masih belum sepenuhnya sehat, sehingga perlu dilakukan pembenahan struktural agar operasional bisa berjalan efisien dan tidak terus terbebani biaya pinjaman serta pengelolaan infrastruktur.
“Kita harus memikirkan beban operasional transportasi yang cukup besar. Saya belum terlalu yakin bahwa ini impas,” ungkap Kanang, Kamis (13/11/2025)
Dia menjelaskan, KAI menghadapi sejumlah beban besar yang harus dihitung secara cermat. Mulai dari beban pokok pinjaman, bunga pinjaman, hingga biaya operasional harian seperti listrik, penyusutan aset, dan biaya overhead.
Kanang menyebut, evaluasi menyeluruh diperlukan agar perusahaan tidak sekadar menutupi biaya operasional tanpa mencapai efisiensi.
“Operasional ini harus dihitung, berapa biaya yang dikeluarkan, termasuk overhead, penyusutan, dan kendala teknis lainnya. Kita juga harus bicara soal usia kereta, bukan hanya biaya listrik dan gaji operator,” tegas mantan Bupati Ngawi dua periode itu.
Kanang menilai, salah satu penyebab beratnya beban operasional PT KAI adalah karena perusahaan masih memikul tanggung jawab atas seluruh prasarana transportasi kereta. Termasuk stasiun dan jaringan rel, yang sebagian besar dibangun negara melalui Kementerian Perhubungan.
“Maka solusi yang saya usulkan, KAI perlu diberikan wacana baru. Selama ini KAI mengoperasikan prasarana yang sebenarnya dibangun oleh negara, termasuk stasiun. Kalau itu tidak dibebankan pada KAI, maka operasionalnya akan lebih ringan,” usulnya.
Menurut Wakabid Kehormatan DPD PDI Perjuangan Jatim tersebut, opsi yang bisa dipertimbangkan adalah pemisahan fungsi antara operator dan pengelola prasarana.
Dalam skema tersebut, prasarana seperti jalur kereta dan stasiun dikelola oleh entitas terpisah atau oleh negara secara langsung, sementara KAI hanya berperan sebagai operator layanan transportasi.
“Kalau ini dipisah, maka KAI bisa menyewa kepada negara atau entitas tersendiri yang mengelola prasarana tersebut. Dengan begitu, investasi negara tetap menjadi prasarana publik, dan KAI dapat fokus pada peningkatan layanan,” jelas Kanang.
Langkah tersebut, menurutnya, sejalan dengan praktik di sejumlah negara maju yang memisahkan fungsi operator dari pengelola prasarana untuk menghindari tumpang tindih biaya dan meningkatkan efisiensi bisnis transportasi publik.
Data terbaru menunjukkan, KAI mencatat pertumbuhan jumlah penumpang mencapai sekitar 379 juta orang sepanjang Januari–Oktober 2024. Sementara itu, angkutan barang meningkat 9 persen menjadi 69 juta ton dalam periode yang sama.
Namun, di balik peningkatan volume tersebut, tantangan efisiensi dan pembiayaan masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi perusahaan pelat merah itu.
Kanang menegaskan, dengan kondisi saat ini, efisiensi bisnis KAI tidak bisa hanya diukur dari peningkatan jumlah penumpang dan volume barang, melainkan dari kemampuan perusahaan menjaga keseimbangan antara pendapatan dan beban operasional.
“Kalau beban pinjaman, bunga, dan prasarana masih digabung, saya belum yakin perusahaan bisa impas. Karena investasi yang ditanggung terlalu besar,” ujarnya.
Komisi VI DPR RI, imbuhnya, mendorong pemerintah untuk meninjau kembali model bisnis dan struktur pembiayaan KAI agar beban keuangan perusahaan lebih proporsional.
Salah satu usulan yang mengemuka adalah pembentukan entitas khusus pengelola infrastruktur perkeretaapian, sehingga KAI dapat berfokus sebagai operator layanan transportasi.
Dengan langkah tersebut, diharapkan efisiensi dapat tercapai tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik. Selain itu, pembiayaan prasarana yang ditanggung negara dapat dipertanggungjawabkan sebagai investasi jangka panjang, bukan beban langsung bagi BUMN operator.
“Kalau fungsi itu dipisahkan, negara tetap memiliki investasinya di prasarana, sementara KAI bisa bekerja lebih efisien. Ini akan membuat sistem transportasi kita lebih sehat,” pungkas Kanang. (yols/pr)