SURABAYA – Balai Kota Surabaya tampak ramai. Bunyi gamelan Bali terdengar nyaring. Aksen pura, janur kuning, dan kain poleng atau kain kotak-kotak hitam-putih menghiasi pandang. Lima ogoh-ogoh menjulang tinggi. Badannya besar. Taringnya tajam.
Menjelang Nyepi, ribuan umat Hindu berbaur dengan warga Surabaya untuk memeriahkan arak-arakan ogoh-ogoh. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi tampak senang. Sebab, dialah yang mengusung Pawai Seni Ogoh-ogoh pada Minggu, 10 Maret 2024 pukul 2 siang itu.
Pawai itu dibuka dengan sendratasik bertajuk Saskara Sat Arindama. Artinya, kebenaran yang akan menang. Selaras dengan makna ogoh-ogoh sebagai tradisi wajib umat Hindu menjelang Nyepi.
Yakni simbol peluruhan kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan buto dalam diri manusia. Kebenaran dan kebaikan akan selalu menjadi pemenang walaupun banyak tantangan dalam prosesnya.
Lantas, satu per satu ogoh-ogoh pun diarak. Sang Kala Dengen adalah ogoh-ogoh utama dalam pawai tersebut. Dia merupakan perwujudan Dewi Uma yang menjelma menjadi Bhatari Durga.
Sosoknya besar dan menakutkan. Tangan kanannya menggenggam kapak yang runcing. Sebanyak 20 orang menggotong ogoh-ogoh berukuran 4 meter itu. Selain Sang Kala Dengen, ada pula ogoh-ogoh Dewa Ruci, Hanoman, Tog-Tog Sil, dan Engkeban Memedi serta dua ogoh-ogoh cilik.
Keberagaman terasa. Termasuk ketika beberapa barongsai dan leang-leong mengekor di belakang ogoh-ogoh saat parade. Rute pawai seni itu mencakup Jalan Walikota Mustajab, Jalan Sedap Malam, Jalan Jimerto, dan Jalan Jaksa Agung Suprapto.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Ketut Gotra Astika menyebutkan bahwa persiapan untuk Pawai Seni Ogoh-ogoh sangat mendadak. “Awalnya, kami pikir tidak akan terselenggara karena Pemilu bisa jadi dua putaran,” katanya.
“Ternyata, Pemilu sudah selesai. Kami pun hanya menyiapkan tujuh ogoh-ogoh. Tujuh berarti pitu atau pitulungan,” lanjut Ketut. Kendati demikian, Ketut menyambut baik pawai ogoh-ogoh yang berlangsung pertama kali di Balai Kota Surabaya itu.
Sebelumnya, arak-arakan hanya berlangsung di area Pura Segara Kenjeran. Pemerintah Kota Surabaya pun menyokong penuh agenda tersebut. Termasuk ornamen pura yang ada di depan Balai Kota Surabaya.

Alhasil, warga Surabaya bisa mengenal lebih jauh segala ritual menjelang Tahun Baru Saka itu.
Menurut Ketut, Nyepi adalah kesempatan manusia untuk mengevaluasi diri sendiri sehingga menjadi pribadi yang lebih baik.“Kami awali Nyepi dengan upacara Melasti untuk menyucikan bhuana agung dan bhuana alit. Lalu, tawur agung pagi tadi,” kata Ketut.
Tawur agung dilakukan untuk menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan sesuai ajaran Tri Hita Karana. Usai tawur agung, barulah pawai ogoh-ogoh.
Selanjutnya, ogoh-ogoh yang sudah diarak dibakar dalam ritual pralina. Pembakaran ogoh-ogoh ialah simbol meluruhkan sifat-sifat buruk manusia supaya tidak membawa pengaruh buruk di kemudian hari.
Lalu, para umat Hindu pada Hari Raya Nyepi menjalani puasa selama 24 jam. Pun, mematuhi empat pantangan yang disebut Catur Brata Penyepian.
“Pertama, amati geni yaitu tidak menyalakan api. Amati karya, tidak melakukan pekerjaan. Amati lelungan, tidak bepergian. Terakhir, amati lelanguan, tidak bersenang-senang,” terang Ketut.
Menanggapi hal itu, Eri menyambut baik segala tradisi keagamaan di Kota Pahlawan. Dia pun menyerukan toleransi antarumat beragama guna menciptakan kota yang harmonis. Terlebih, Hari Raya Nyepi berdampingan dengan awal bulan suci Ramadan.
“Inilah Surabaya. Kota kita yang dilahirkan dengan toleransi yang tinggi antar semua umat beragama. Tidak ada kesombongan, angkara murka atau siapa kota terbaik. Tapi, yang terbaik adalah kita semua umat beragama yang senantiasa guyub rukun di Surabaya,” jelas Eri.
Selanjutnya, Eri berupaya menjadikan Balai Kota Surabaya sebagai rumah semua umat beragama di Surabaya. Sebab, perayaan-perayaan agama telah terselenggara di sana. Seperti Natal, cap go meh, dan pawai ogoh-ogoh.
Selamat Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1946! (disway)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS