Bung Karno menghabiskan masa mudanya melahap berbagai buku pemikiran dan tokoh-tokoh dunia. Juga kerap nimbrung dalam diskusi para pejuang.
LULUS dari Europesche Lagere School (ELS) di Mojokerto pada tahun 1915, Sukarno melanjutkan sekolah menengah di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya. Ini sesuai rencana bapak dan ibu Sukarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, yang menginginkan anaknya berpendidikan.
Di Surabaya, Sukarno indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, teman dari bapaknya. Rumah tersebut berada di Peneleh Gang VII, hanya terpaut beberapa gang dari rumah sewa tempat Sukarno dilahirkan empat belas tahun sebelumnya.
“Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Kamar itu sangat gelap, sehingga aku menyalakan lampu terus menerus, bahkan di siang hari,” kata Sukarno dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ditulis Cindy Adams.
Pada masa awal menuntut ilmu di HBS, Sukarno jalan kaki menuju sekolahnya. Terkadang berboncengan dengan kawannya. Sukarno pun menabung hingga akhirnya membeli sepeda. Suatu waktu, sepeda itu dipakai Harsono, usia 7 tahun, anak dari HOS Tjokroaminoto. Sial, sepeda itu penyok karena menambrak pohon. Kejadian itu membuat Sukarno terguncang hingga beberapa minggu.
Sukarno pun kembali menabung untuk membeli sepeda lagi. “Tapi untuk Harsono,” katanya.
Menjalani masa muda di luar kegiatan sekolah, Sukarno sesekali menonton sirkus bersama kawan-kawannya. Juga nonton film, yang ia sebut sebagai sebuah kemewahan. Namun, duitnya hanya cukup untuk membayar tempat atau kursi yang paling murah, di balik layar pula.
“Waktu itu belum ada film bicara, jadi aku harus membaca teksnya secara terbalik, dan lagi dalam bahasa Belanda!”.
Larut Di Perpustakaan
Soekarno menghabiskan masa mudanya untuk membaca. “Seluruh waktuku habis untuk membaca. Sementara yang lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di luar yang diberikan sekolah.”
Perpustakaan kota menjadi tempat bagi Sukarno melahap buku-buku tentang tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di dunia. Melalui buku, pikiran Sukarno melanglang jagat.
“Di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Pemikiran mereka menjadi pemikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pandanganku, suatu pembelajaran di alam ide,” kata Bung Karno.
Ia membaca buku tokoh-tokoh Amerika. Thomas Jefferson, yang menulis Declaration of Independence pada 1776, pemikiran George Washington, kisah Paul Revere, hingga sepak terjang Abraham Lincoln. Juga tokoh-tokoh Britania seperti Perdana Menteri Gladstone, Sidney dan Beatrice Webb.
Kemudian berbagai tokoh dengan pemikirannya dari berbagai negara seperti Mazzini, Cavour, Garibaldi, otto Bauer, dan Adler. Juga Karl Marx, Friederich Engels, dan Lenin. Sukarno juga membaca Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, dan Jean Jaures, ahli pidato dari Prancis.
“Aku meneguk semua cerita mereka. Aku menghayati mereka,” kata Sukarno.
Buku-buku itu membuat darah muda Sukarno mendidih. Suatu malam, ia teringat akan pelajaran di sekolah tentang pengadilan rakyat dari bangsa Yunani kuno. Peristiwa pengadilan itu lantas ia konfrontasikan dengan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh dunia.

Maka, pada malam itu di kamarnya, Sukarno membayangkan sebagai seorang pemuda Yunani yang marah atas pengadilan tersebut. Ia pun berpidato. Sontak, penghuni kos keluar kamar masing-masing dan ramai-ramai meneriaki Bung Karno.
“Hei No (Sukarno), ada apa?”, “Kau gila, No”, “Ah, si No mau menyelamatkan dunia lagi.”
Diskusi Perjuangan Bersama Mahaputra
Saat Sukarno pertama kali datang di Surabaya, HOS Tjokroaminoto berusia 33 tahun. Bapak kosnya itu adalah Ketua Sarekat Islam. Bung Karno menggambarkan Tjokroaminoto sebagai sosok yang sibuk. Saat di rumah, ia sering menerima tamu, para pejuang kemerdekaan.
Raja Jawa Tanpa Mahkota, demikian Sukarno menyebut HOS Tjokroaminoto, sebagai tokoh yang memiliki daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah air.
“Pak Cokro adalah idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, dia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku.”
Rumah Tjokroaminoto kerap menjadi jujugan tokoh-tokoh pergerakan. Berdikusi hingga larut malam membahas situasi politik dan perlawanan terhadap kolonial. Mahaputra, putra-putra besar dari rakyat Indonesia, begitu Sukarno menyebut mereka. Sukarno pun memilih nimbrung dalam dikusi bersama mereka ketimbang ke luar rumah bersama teman-teman kosnya.
Baca juga: Tinggal di Mojokerto, Sukarno Remaja Jadi Trendsetter Permainan Anak Seusianya
Suatu kali Tjokro dan kawan-kawannya membahas masalah kapitalisme dan barang-barang yang diangkut dari negeri ini untuk memperkaya negara Belanda. Sukarno pun bertanya, “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?”.
“Anak ini selalu ingin tahu,” kata Tjokro sembari menjawab sekira 1800 juta gulden.
Dari berbagai diskusi yang diikuti, hal melawan kolonialisme, Sukarno mengetahui perjuangan melawan sistem setelah sekian lama tidak membuat keadaan rakyat membaik. Hal itu terjadi karena para tokoh dengan pengikut masing-masing berjuang sendiri-sendiri dalam lingkup kecil.
Ya, mereka kalah karena tidak bersatu,” kata Bung Karno. (hs)
Foto: Bung Karno (depan kiri, posisi duduk) bersama teman-temannya saat bersekolah di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya. (Sumber:ist)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS