Oleh Eri Irawan*
Sikap terhadap partisipasi tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U-20 membuat kita terbelah. Ada yang setuju kehadiran Israel dengan alasan olahraga tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Mereka yang menolak kehadiran timnas Israel menyodorkan alasan yang lebih substantif, yaitu menjaga amanat konstitusi dan melanjutkan perjuangan Bung Karno.
Bukankah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”?
Tindakan Israel terhadap Palestina sudah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan mengusik peradaban. Pembunuhan dan perampasan tanah rakyat Palestina benar-benar membuat kita marah, sebagaimana dulu Bung Karno marah dan berjanji terus memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Inilah sesungguhnya inti dari relasi nasionalisme dengan internasionalisme, yakni humanisme. Kemanusiaan.
Dalam hal ini, dua kubu yang berseberangan memiliki keinginan dan cita-cita yang sama, yakni berbuat yang terbaik untuk Indonesia. Itulah kenapa sangat disayangkan jika kedua kubu kemudian justru saling tuding dan berkonflik. Sikap kedua kubu sama dan tidak harus dipertentangkan. Pertentangan dua kubu ini justru melupakan persoalan sebenarnya, yakni Israel dan ketidakadilan FIFA.
Sumber utama masalah ini adalah Israel. Negara ini adalah biang persoalan di muka bumi. Tindakannya selama puluhan tahun telah merusak sendi-sendi peradaban. Zionisme sama kejamnya dengan Apartheid. Merendahkan umat manusia dan meletakkan peradaban di sudut kelam sejarah penuh nestapa. Israel menyadari itu dan berusaha menggunakan semua cara untuk menghapus jejak kejahatannya, termasuk melalui olahraga sepak bola. Ini yang kita tolak: menggunakan sepak bola untuk membersihkan diri.
Kita juga mempertanyakan sikap FIFA yang bungkam selama ini terhadap Israel. Sudah banyak negara yang pernah dijatuhi sanksi FIFA dengan berbagai alasan yang sama sekali tak ada kaitannya dengan sepak bola di lapangan. Indonesia juga pernah dijatuhi sanksi pada 2015-2016 hanya karena pemerintahan Presiden Joko Widodo ingin menciptakan iklim sepak bola yang bersih dan berprestasi. FIFA beralasan pemerintah mengintervensi.
Terakhir, Rusia dijatuhi sanksi pula gara-gara menginvasi Ukraina. Afrika Selatan juga pernah dijatuhi sanksi pada 1961 karena politik Apartheid-nya. Keanggotaan Afrika Selatan bahkan baru dipulihkan pada 1990.
Lantas kenapa terhadap Israel justru FIFA bungkam seribu bahasa? Padahal sudah jelas sekali, pemerintah Israel juga menyebabkan olahraga di Palestina terhambat, khususnya sepak bola. Seorang pemain Palestina ditembak mati oleh tentara Israel. Bahkan klub-klub sepak bola Palestina kesulitan bertanding karena kebijakan Israel.
Israel juga melarang tim sepak bola pantai Palestina terbang ke Vietnam untuk mengikuti Asian Beach Games V. Jika ini disebut kebiadaban, bukankah ini kebiadaban? Jika ini disebut intervensi negara terhadap sepak bola negara lain, ini juga intervensi?
Maka dari itu, ada baiknya kita berhenti saling menyalahkan. Kita adalah saudara. Musuh terbesar kita adalah kejahatan Israel, ketidakadilan FIFA, dan kegagalan PSSI mengelola dinamika aspirasi publik termasuk soal Tragedi Kanjuruhan yang juga menjadi catatan FIFA.
Momentum digagalkannya Piala Dunia U-20 di Indonesia oleh FIFA adalaah momentum persatuan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi ketidakadilan, dan kemudian membenahi sepak bola kita secara mendasar: dari pembinaan usia dini hingga kompetisi yang fair.()
*Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPC Banteng Muda Indonesia (BMI) Surabaya
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS