
JAKARTA – Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menilai, upaya Presiden Joko Widodo menghidupkan kembali jabatan Wakil Panglima TNI demi menyesuaikan kebutuhan TNI yang semakin kompleks.
Posisi itu dihidupkan kembali melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia.
Menurut pandangan Basarah, institusi TNI sekarang ini adalah institusi yang bukan saja menangani masalah yang terkait pertahanan negara, bukan hanya misi peperangan saja.
“Tapi juga banyak misi lain seperti peran dalam misi kemanusiaan, mendukung tindakan antiterorisme dan sebagainya,” kata Basarah di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (8/11/2019).
Oleh karena itu, sebut Basarah, kebutuhan kinerja institusi TNI semakin kompleks sehingga menurutnya sangat penting dipertimbangkan dihadirkannya Wakil Panglima TNI.
Wakil Ketua MPR dari PDI Perjuangan itu membandingkannya dengan Polri. Di institusi itu ada posisi wakil kepala Polri.
Oleh karena itu, dia menganggap wajar bila Presiden Jokowi memutuskan menghidupkan lagi jabatan wakil panglima TNI.
“Kalau kepala staf (di TNI) kan bertanggung jawab pada matranya masing-masing, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Angkatan Darat, tetapi kan ini (jabatan wakil panglima TNI) menyangkut koordinasi panglima TNI, baik internal dan eksternal, saya kira pada level Markas Besar TNI,” jelas dia.
Basarah juga yakin Jokowi memiliki pertimbangan, kajian, atau alasan yang matang untuk menghidupkan jabatan tersebut.
Saat ditanya apakah jabatan ini bertentangan dengan semangat Jokowi melakukan reformasi birokrasi, Basarah menilai, reformasi birokrasi tak sekadar mengadakan dan meniadakan jabatan.
“Tapi harus lihat dalam kajian komprehensif institusi TNI dibutuhkan hadir bukan hanya sebagai institusi menjaga pertahanan negara, peran TNI semakin kompleks sehingga struktur institusi TNI perlu diperkuat. Saya kira presiden selaku pimpinan tertinggi paling tahu,” kata Basarah.
Jabatan wakil panglima TNI terakhir muncul pada 20 tahun lalu. Wakil panglima terakhir dijabat oleh Fachrul Razi. Setelah Fachrul Razi purnatugas, presiden saat itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, menghapus jabatan tersebut. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS